Idham Holik, Komisioner KPU RI (Cuplikcom/ist)
Cuplikcom - Indramayu - Menangkal isu yang sedang viral terkait sistem pemilihan Caleg pada Pemilu 2024. Komisioner KPU RI, Idham Holik menegaskan, tetap akan melaksanakan sistem Proporsional Terbuka. Pasalnya, hal itu berdasarkan perintah UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Sampai hari ini pasal 168 ayat 2 Undang Undang nomor 7 tahun 2017 itu masih efektif berlaku, dimana sistem Pemilunya adalah sistem proporsional daftar terbuka," tegas Idham usai lantik PPK di Kabupaten Indramayu, Rabu (4/1/2023).
Sistem Proporsional Terbuka adalah pemilih memilih calon legislatif secara langsung nama wakil rakyatnya, sementara sistem Proporsional Tertutup adalah pemilih hanya memilih partai politiknya saja.
Idham memaparkan, pihaknya berpegang teguh pada Penyelenggaraan Pemilu yang terdapat 11 prinsip, yakni satu diantaranya adalah prinsip berkepastian hukum.
"Jadi kami sebagai pelaksana UU Pemilu, tentunya kami akan melaksanakan ketentuan yang terdapat di dalam UU Pemilu," ungkap Idham.
Terkait Adanya pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 168 ayat 2 tersebut, Idham menegaskan pihaknya tidak berwenang untuk memastikan.
"Kami sebagai penyelenggara Pemilu, kami tidak punya kewenangan untuk mengomentari hal tersebut. Karena itu semua kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yang sudah diatur di dalam Undang-undang," jelas Idham.
Diketahui, sistem Pemilu di Indonesia pasca reformasi pada Pemilu 1999 masih menggunakan Sistem Proporsional Tertutup, sementara mulai 2004 hingga 2019 menggunakan sistem Proporsional Terbuka.
Sebelumnya, pada November 2022 kemarin, kader PDIP dan Kader Nasdem mengajukan gugatan ke MK mengenai sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, salah satunya pada pasal 168 ayat 2, pihaknya mengusulkan pada Pemilu 2024 kembali diberlakukannya sistem Proporsional Tertutup.
Pasal 168 ayat 2 berbunyi: "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka".
Argumen yang dibangun, sistem proporsional terbuka menurutnya sangat rawan terjadinya mobilisasi massa dan politik uang di masyarakat, sehingga popularitas individu lebih unggul dibandingkan partai politik. Bahkan disebut, hal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa peserta Pemilu adalah Partai Politik dan bukan individu nama orang per orang.
Namun pada sidang perdana yang digelar, para hakim MK menyampaikan kekurangan dari para penggugat, diantaranya argumen yang dibangun masih sepihak, belum menjelaskan secara faktual atas perbandingan keuntungan dan kerugian dari kedua sistem Pemilu tersebut.