Jika dijumlahkan dengan data yang dikumpulkan dari rumah sakit dan laporan media sejak awal invasi AS, jumlah korban tewas akibat kekerasan telah mencapai 110.600. Invasi itu dilakukan pascaserangan teror 11 Sepetember 2001 yang meluluhlantakkan WTC New York dan merusak Pentagon.
Jumlah itu bisa lebih tinggi 10-20% lagi, mengingat masa perang yang kacau sehingga banyak penduduk yang hilang atau dikuburkan secara massal tanpa dihitung secara resmi. Belum lagi mereka yang tewas di saerah terpencil dan tak terjangkau. Sementara penghitungan secara resmi baru mulai dilakukan Depkes sejak 2005. Data-data itulah yang digunakan PBB.
“Pada awal 2007, kami kesulitan mendapatkan data penghitungan ini sebab Irak mulai menekan AS dan pemerintah mereka sendiri. Kami berulang kali memintanya kepada Irak namun mereka tak memberikan respons positif,” kata Jubir PBB Farhan Haq yang mengatakan pihaknya tak memiliki data resmi untuk 2003-2004.
Associated Press (AP) lah yang kemudian melakukan penghitungan. Mereka mulai menngadakan wawancara dengan beberapa sumber ahli dan prominen. Hal itu dilakukan guna mendapatkan data kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, AP membuka tabulasi sendiri sejak 28 Februari lalu, tanggal penghitungan terakhir Depkes Irak.
Hasilnya, diperoleh angka lebih dari 110 ribu orang termasuk di antaranya 91.466-99.861 polisi dan tentara sejak awal perang. Tingginya angka kematian itu menunjukkan trauma pascaperang akan meningkat di negara tersebut. Angka kematian itu mencapai 0,38% dari 29 juta penduduknya. Meski keamanan membaik, tetap saja semua penduduk pernah bersentuhan dengan kekerasan.
Kekerasan itu juga sangat mematikan bagi penganut Muslim Suni, mereka dibunuh karena alasan itu. Menurut Depkes, angka kematian Suni mencapai 59.957 dari 87.215 kematian pada 2006-2007. Periode itu marak dengan pemboman dan eksekusi massal.
Mengumpulkan data kematian bukanlah sebuah perkara yang mudah. Catatan tak selalu dikumpulkan ke pusat pemerintahan. Menurut militer AS, upaya itu terhambat para pemberontak yang melarangan aktivitas bersifat reportase dari medang perang. Sebab itulah data paling akurat sementara ini masih dimiliki oleh Depkes.
Di bawah rezim Saddam Hussein, penghitungan terus dilakukan meski pasukan AS mengawasi dengan ketat. Depkes Irak tak memiliki data dua tahun pertama pascainvasi AS sebab situasi negara sangat kacau.
Data kematian ini sangat penting sebab perang Irak menjadi perhatian komunitas internasional dan konsumsi publik AS sendiri. Kritikan mengalir deras kepada pemerintah mantan Presiden George W Bush.
Sementara Pentagon terus memperbaru angka kematian serdadu AS di medan perang Irak. Jumlah itu per hari ini telah menginjak 4.267, sejak awal masa invasi. “Meski tak dirilis untuk publik, angka itu dikumpulkan sendiri oleh pihak militer AS untuk memantau tren,” ujar Jubir AS di Baghdad, Letkol Mark Ballesteros. Media AS secara rutin menyiarkannya.
Kebijakan AS untuk tidak menekspos kematian rakyat sipil mengundang protes dari kelompok pembela HAM. Kritikan tajam inilah yang menyebabkan AP ikut mengkompilasi jumlah kematian penduduk Irak sejak 1 Januari 2005 hingga 28 Februari 2009 dengan hasil tersebut di atas.
“Banyak yang berkepentingan dengan data korban sipil. Inilah salah satu faktor yang akan digunakan untuk menganalisa invasi dengan hukum kemanusiaan internasional,” ujar anggota Human Rights Watch, Sarah Leah Whitson, di New York.
Pada akhirnya, semua yang mereka lakukan memiliki satu tujuan yang sama yaitu mengurangi jumlah konflik dan kekerasan. Sekaligus mengurangi korban yang mati terbunuh akibat kepentingan kekuasan.