Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah menuai kritik berbagai kalangan. Bahkan sejak sebelum pengesahannya tanggal 16 Januari 2009 oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak isu penting yang dianggap "hilang dari peredaran" dalam UU tersebut. Padahal isu-isu yang absen itu menyangkut kelangsungan nasib para pengusaha tambang.
Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Minerbabum DESDM) Bambang Setiawan langsung merespon kekecewaan para stakeholder tersebut. Bambang menyatakan pihaknya sedang menyiapkan empat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mendukung pemberlakuan UU Minerba.
Keempat RPP itu adalah RPP Wilayah Pertambangan, RPP Kegiatan Usaha Minerba, RPP Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan, dan RPP Reklamasi dan Pasca-Tambang. "Paling lambat enam bulan harus sudah selesai," timpal Prof. Abrar Saleng, salah seorang anggota Tim Penyusun RPP, dalam sebuah Seminar Pertambangan di Jakarta, Kamis (5/2).
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Irwandy Arif menambahkan, empat RPP tersebut sudah mencakup 22 isu yang diamanatkan UU Minerba. Ia menjelaskan, RPP Wilayah Pertambangan mencakup isu yang diangkat Pasal 12, Pasal 19, Pasal 33, dan Pasal 89 UU Minerba
Lalu RPP Kegiatan Usaha Minerba mengatur tentang isi Pasal 34 (3), Pasal 63, Pasal 49, Pasal 65 (2), Pasal 76 (3), Pasal 84, Pasal 86 (2), Pasal 5 (5), Pasal 103 (3), Pasal 109, Pasal 112 (2), Pasal 116, Pasal 111 (2), dan Pasal 156. Kemudian RPP Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan didasarkan pada Pasal 144 dan Pasal 71 (2). Sementara RPP Reklamasi dan Pasca-Tambang dilandasi Pasal 101.
Bambang mengisyaratkan dalam rangka persiapan ketentuan peralihan, akan disampaikan Surat Edaran Menteri ESDM kepada pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Isinya tentang penyampaian rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian. Edaran ini sesuai dengan Pasal 171 UU Minerba.
Irwandy mengungkapkan ketidaksetujuannya pada isu wilayah Pertambangan. "Pertambangan tidak bisa di kaveling-kaveling seperti ruko. Dia (pertambangan, red) punya karateristik tersendiri, maka ada masalah pada batas wilayah."
General Manager Operation PT Adaro Indonesia Tbk, Priyadi, juga menyayangkan apabila ketentuan batas wilayah pertambangan diterapkan secara merata. "Harus kondisional," sarannya.
Priyadi menggunakan perspektif teknik pertambangan dalam pendapatnya. Dia melihat, ketentuan batas wilayah tersebut bisa diterapkan pada wilayah yang cadangan mineralnya vertikal lurus ke bawah. Namun bila cadangan mineralnya pada posisi diagonal yang melandai melewati batas wilayah yang ditentukan, maka akan menyulitkan pengusaha.
Selain isu yang diembankan ke RPP Wilayah Pertambangan, para stakeholder nampaknya tidak mempersoalkan isu-isu yang diusung RPP lain. Misalnya, kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk pengajuan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Vice President Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat untuk Hubungan Ekonomi Internasional Kawasan Asia Pasific, Fakir Chand Dhillon, menyatakan para pelaku usaha tambang, terutama investor asing tidak bermasalah dengan keharusan Amdal. "Mereka (perusahaan tambang), apalagi yang dari luar, sudah menyadari dan sangat disiplin akan kewajiban lingkungan seperti Amdal," tegasnya.