Setelah membaca dan mempelajari tuntutan penuntut umum yang dibacakan pada 13 April 2009 lalu, giliran Karnawi membacakan sejumlah argumen pembelaan yang dituangkan dalam pledoi mereka. Karnawi adalah Direktur Utama PT Panton Pauh Putra yang menjadi terdakwa korupsi proyek peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan pada Balai Latihan Kerja (BLK) di Banda Aceh dan Medan.
Pada persidangan sebelumnya, penuntut umum meminta majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara serta denda Rp200 juta rupiah subsider tiga bulan kurungan. Karnawi juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,064 miliar. Berdasarkan fakta persidangan, penuntut umum berkeyakinan Karnawi terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penuntut umum meyakini Karnawi melakukan perbuatan melawan hukum dalam proyek peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan pada BLK di Banda Aceh dan Medan. Salah satunya melalui proses penunjukan langsung dan membuat tanggal mundur dalam dokumen pengadaan.
Namun, Karnawi menampik semua tuduhan penuntut umum. Kecintaannya pada Aceh -tanah kelahiran Karnawi- yang menjadi alasannya ikut ambil bagian sebagai rekanan dalam proyek tersebut. Hal tersebut dipaparkannya dalam pledoi dengan judul ´Derita Pengusaha´ yang dibacakan di pengadilan Tipikor, Senin (27/04).
Karnawi mengaku tertarik mengikuti proyek karena sebelumnya Taswin Zein selaku pimpinan proyek memintanya untuk berpartisipasi dalam proyek itu. Pasalnya, tak ada pengusaha yang bersedia untuk mengikuti pengadaan pada BLK Banda Aceh karena adanya gangguan keamanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Atas permintaan Taswin Zein tersebut, hati kecil saya merasa terpanggil dan terbesit di hati untuk bersedia membantu. Kesediaan saya tersebut semata-mata adalah penggilan batin dan niat baik untuk turut berpartisipasi membantu daerah tanah kelahiran saya," katanya.
Karena terlalu fokus untuk membantu tanah kelahirannya itu, Karnawi mengaku baru menyadari ada proses administrasi yang tidak sesuai prosedur. Tepatnya setelah Komisi Pemberantasan Korupsi ‘terlibat' dalam proyek ini. Kesalahan prosedur itu seperti penandatanganan kontrak kerja dan berita acara serah terima barang bukan pada tanggal sebenarnya.
Tim penasehat hukum Karnawi punya argumen sendiri mengenai metode penunjukkan langsung dalam proyek ini. Mereka menyebutkan metode penunjukan langsung adalah hak dan kewenangan penuh dari Depnakertrans, bukan PT Panton pauh Putra. Ditambah lagi, metode tersebut telah memiliki dasar hukum yang sah berupa izin prinsip penunjukan langsung yang ditandatangani Fahmi Idris, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat itu. "Oleh karena itu, perbuatan terdakwa menyetujui perusahaannya ditunjuk dengan metode penunjukan langsung adalah bukan merupakan perbuatan melawan hukum formil," kata Jonas salah satu anggota penasehat hukum.
Mengenai penandatanganan kontrak dan berita acara secara mundur (back date), penasehat hukum terdakwa masih punya pembelaan. Alasannya karena kebijakan untuk memundurkan waktu pelaksanaan kontrak diambil dan dilakukan secara sepihak oleh pejabat Depnakertrans antara lain Tjeppy Alowie selaku Sekjen, Kernadi selaku Dirjen, Bachrun Efendi selaku Sesditjen, dan Taswin Zein selaku atasan langsung bendaharawan.
Lebih jauh, pengacara Karnawi berdalih penuntut umum telah salah dalam memahami maksud pembukaan rekening bersama dengan menyatakan Karnawi telah menandatangani berita acara serah terima fiktif dan surat permohonan pembayaran serta kwitansi pembayaran untuk mencairkan dana atas kontrak pengadaan tersebut. Dalam pledoinya, penasehat hukum menjelaskan kalau rekening bersama itu digunakan untuk menampung dan mengamankan anggaran ABT DIKS 2004 agar tidak hangus. Bukan untuk pembayaran kepada PT Panton Pauh Putra.
Dalam proyek ini, masih menurut pengacara, PT Panton Pauh Putra hanya meraup untung sebesar Rp513 juta. Keuntungan itu adalah selisih antara pembayaran Depnakertrans sebesar Rp6,255 miliar dengan pengeluaran perusahaan senilai Rp5,742 miliar. Sehingga perhitungan kerugian negara versi penuntut umum sebesar Rp2,6 miliar sama sekali tak berdasar.
Atas serangkaian pembelaan mereka itu, penasehat hukum memohon kepada majelis hakim agar menyatakan Karnawi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan penuntut umum.