Ilustrasi (Ervina)
Oleh : Praditiyo Ikhram, S.Pd.
(Wakil Koordinator Indonesia Education Watch & Akademisi)
Cuplikcom-Jakarta-Dalam perjalanan transformasi PTN menjadi badan hukum dan badan layanan umum, polemik tak pernah absen dari panggung sejarah universitas. Begitu banyak kepentingan bercampur aduk di dalamnya - politik, ekonomi, dan ambisi individu yang tak jarang menjadi sorotan.
Mengapa universitas menjadi medan pertempuran bagi kepentingan pribadi? Pertanyaan ini mencuat karena kita belum mampu membuktikan seberapa kritisnya kita dalam menyelamatkan esensi sejati sebuah institusi pendidikan.
Universitas, yang seharusnya menjadi mercusuar keilmuan, kerap kali terperangkap dalam jaring-jaring kepentingan yang tak sejalan dengan misinya. Marwahnya sebagai lembaga pendidikan terbaik seringkali ternodai oleh ambisi-ambisi yang tak bermoral. Namun, apakah kita akan terus pasif menyaksikan bagaimana universitas, yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran dan keadilan, malah menjadi alat pencitraan kekuasaan yang tak terkendali?
Di balik gemerlapnya dunia pendidikan tinggi, tersembunyi kisah pilu yang tak terdengar oleh banyak telinga. PTNBH, sebuah singkatan yang terasa lebih seperti beban ketimbang kebanggaan bagi mahasiswa dan dosen. Bagi mahasiswa, setiap langkah di kampus menjadi perjalanan tanpa henti menuju nikmatnya pendidikan tinggi. Namun, di balik setiap kesempatan itu, terhampar lautan tantangan finansial yang menghadang.
Institusi pendidikan, layaknya pelaut yang mencari harta karun, mengejar keuntungan dari setiap potongan Uang Kuliah Tunggal dan Sumbangan Pengembangan Universitas.
Namun, siapa yang sebenarnya menanggung beban ini? Mahasiswa dan dosen, menjadi korban utama dari alur ini. Bagi mereka yang melangkah melalui Jalur Ujian Mandiri, pintu menuju perguruan tinggi hanya terbuka bagi yang memiliki kantong yang tebal.
Bayangkan, seseorang yang bermimpi melangkah ke pelukan ilmu di universitas terbaik. Namun, mimpi itu terhenti begitu saja saat biaya mencapai angka yang tak terbayangkan. Seorang mahasiswa dihadapkan pada keputusan sulit: menyerahkan sejumlah uang yang melilit leher, atau mengubur impian itu dalam-dalam.
Uang Kuliah Tunggal menjadi monster mengerikan yang terus mengancam, mengikat tak hanya masa depan, tetapi juga harga diri. Sebuah tawar-menawar tanpa ampun, di mana slip gaji dan kepemilikan kendaraan menentukan segalanya.
Dosen, meskipun menjadi bagian dari sistem, juga tidak luput dari derita ini. Mereka terjebak dalam lingkaran setan, di mana pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi taruhan dengan nasib yang tak pasti.
Dalam hiruk-pikuk dunia Perguruan Tinggi, PTNBH bukanlah sekadar isu biasa. Ia melambangkan permasalahan nyata yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Ketika pemerintah memilih untuk mengabaikan hal ini, mereka seakan melepas kendali terhadap masa depan pendidikan tinggi.
Seketika, gambaran tentang Universitas terhampar di hadapan kita; setiap institusi mencari celah untuk meraih keuntungan, bahkan melalui properti yang mereka miliki.
Namun, pertanyaan muncul, bagaimana dengan universitas yang tidak memiliki properti? Mereka bagaimana?
Melihat contoh dari Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Semarang, kita menyadari bahwa bahkan institusi-institusi besar tersebut juga terlibat dalam dinamika ini. Properti bukanlah sekadar bangunan dan lahan, tetapi juga sumber pendapatan yang sangat berarti bagi mereka.
Namun, di balik keuntungan yang dihasilkan, kita tidak bisa mengabaikan dampaknya terhadap mahasiswa. Saat properti menjadi fokus utama, kebijakan seperti UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan SPU (Sumbangan Pembangunan Universitas) menjadi alat bagi universitas untuk menutupi kekurangan keuangan. Mahasiswa menjadi korban dari dinamika ini, dipaksa untuk membayar lebih hanya demi menjaga profitabilitas institusi.
Dalam membangun masa depan pendidikan tinggi, kita harus mengingat bahwa pendidikan adalah hak, bukan komoditas. PTNBH adalah cermin dari kompleksitas ini; ia mencerminkan pertarungan antara kebutuhan akan sumber daya finansial dan komitmen terhadap aksesibilitas dan kualitas pendidikan.
Sudah saatnya pemerintah dan institusi pendidikan berkolaborasi untuk menemukan solusi yang berkelanjutan, yang tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga melayani kepentingan seluruh masyarakat pendidikan.
Namun, di tengah gelapnya lorong sengsara ini, tetaplah ada cahaya kecil harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, pendidikan akan menjadi hak untuk semua, bukan hanya milik yang berduit. Harapan bahwa PTNBH akan menjadi cerminan keadilan dan kesetaraan, bukan lambang penindasan dan kesulitan. Dan di balik semua tekanan ini, muncul kekuatan luar biasa dari mahasiswa dan dosen yang tetap bertahan, melawan arus, dan menginspirasi perubahan.
Jalanan sengsara mungkin panjang dan berliku, tetapi setiap langkah adalah perlawanan, setiap kata adalah keberanian, dan setiap mimpi adalah panggilan untuk perubahan.
Di ujung lorong sengsara ini, mungkin, hanya mungkin, terbentang panorama baru: sebuah dunia di mana pendidikan adalah jalan kebebasan, bukan penjara kehampaan.