Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak di Pesantren dan Sekolah (Cuplikcom/ist)
Cuplikcom - Indramayu - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Indramayu melalui Fatayat NU dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Indramayu, menggandeng pesantren dan sekolah untuk berperan aktif dalam pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Indramayu.
Hal itu dilakukan dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak di Pesantren dan Sekolah, yakni Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu, dan SMK IT Hidayatul Mujahidin Panyindangan Kulon Kecamatan Sindang Indramayu.
Kegiatan diselenggarakan oleh sub mitra Program Inklusi Kabupaten Indramayu, Fatayat dan Lakpesdam NU, pada 23-24 Juli 2024.
Kegiatan ini juga didukung oleh Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia melalui Program INKLUSI, Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif.
"Angka perkawinan anak di Indramayu cukup tinggi, pihak pesantren dan sekolah merupakan pihak yang sangat penting untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan perkawinan anak," ujar Ketua Fatayat NU Indramayu dan juga Koordinator sub mitra Program Inklusi Kabupaten Indramayu, Supriyatin, kepada media, Kamis (25/7/2024).
Menurutnya, tingginya angka perkawinan anak di Kabupaten Indramayu, disebabkan banyak faktor, mulai dari kurangnya perhatian anak dari orang tua hingga faktor lingkungan sekitar yang mempengaruhinya.
Bukan hanya itu, pihaknya juga menjelaskan tentang dampak-dampak negati jika terjadinya perkawinan anak. Diantaranya adalah dampak sosial pendidikan kesehatan dan ekonomi.
Diketahui, perkawinan anak menurut Undang-undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan boleh dilakukan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, sehingga jika terjadi dibawah umur 19 disebut perkawinan anak.
Terpisah, pengasuh Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqo, Ust Agung Mardianto, M.Ag menyampaikan, penting kiranya lembaga pendidikan memperhatikan masalah perkawinan anak tersebut.
"Meski dalam ajaran Islam itu boleh menikah setelah baligh, namun secara UU dan kajian-kajian lain dapat menimbulkan madhorot lebih banyak, maka sangat penting perkawinan anak ini dihindari," tutur Ust Agung
Sedangkan, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Islam Terpadu (SMK IT) Hidayatul Mujahidin, Yurisul Fadli menambahkan, perkawinan anak sering terjadi, bahkan terhadap anak didiknya, sehingga pihaknya sangat antusias untuk siap berperan aktif dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan anak.
Pasalnya, lanjutnya, usia yang sangat rawan terjadinya perkawinan anak adalah ketika saat di bangku sekolah, khususnya mulai kelas 9 SLTP hingga jenjang SLTA.
"Usia rawan terjadinya perkwainan anak adalah saat datang puber pertama, yakni sekitar baru lulus SLTP hingga di SLTA," jelas Fadli.
"Jadi yang terpenting, kejar ijazah dulu baru ijab sah kemudian," pungkas Fadli.