Supendi Samian (Cuplikcom/ist)
Oleh: Supendi Samian
(Ketua STIDKI NU Indramayu)
Politik dalam perspektif sufi seringkali menggabungkan dimensi etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Sufisme, yang berakar pada pengalaman mistik dan spiritual dalam Islam, memandang politik sebagai bagian dari kehidupan duniawi yang harus dihadapi dengan prinsip-prinsip moral dan spiritual yang tinggi. Dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja), pandangan politik berbasis tasawuf menekankan akhlak, keadilan, keseimbangan, dan persatuan umat.
Dalam pandangan sufi, politik dipahami sebagai bagian dari pengaturan kehidupan masyarakat yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral. Beberapa ulama sufi besar, seperti Al-Ghazali dan Ibn 'Arabi, menyebutkan bahwa kekuasaan politik idealnya dimanfaatkan untuk mempromosikan keadilan dan kebaikan umum. Pemimpin dianggap sebagai wakil Allah di bumi yang harus menegakkan prinsip-prinsip ilahiyah di tengah masyarakat.
Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menekankan pentingnya hubungan antara agama dan politik. Baginya, pemimpin politik harus memiliki integritas moral yang tinggi dan mampu menjadi teladan dalam perilaku sosial. Politik tidak boleh dipisahkan dari agama karena pemerintahan adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan spiritual.
Di sisi lain, Ibn 'Arabi lebih memandang bahwa politik harus bersifat inklusif dan universal. Baginya, pemimpin yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan aspek batin dan lahiriah, melayani umat tanpa diskriminasi, dan mampu melihat segala sesuatu dari perspektif tauhid.
Dalam ajaran tasawuf, politik tidak bisa lepas dari prinsip keadilan. Sufi memandang bahwa salah satu tujuan utama dari kekuasaan adalah untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Ibnu Khaldun, salah satu tokoh penting dalam sejarah pemikiran politik Islam yang juga memiliki kaitan dengan tradisi tasawuf, menyatakan bahwa stabilitas politik hanya bisa dicapai jika keadilan ditegakkan. Pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang mendapat berkah dan dukungan dari Allah.
Para sufi juga sering menekankan konsep maslahat atau kebaikan umum. Dalam perspektif sufi, kebijakan politik harus diarahkan untuk membawa manfaat terbesar bagi umat manusia dan bukan untuk kepentingan segelintir elit. Konsep ini sangat terkait dengan peran pemimpin sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Sebagian besar ulama sufi mengambil sikap hati-hati terhadap kekuasaan politik. Hal ini disebabkan karena mereka memandang bahwa kekuasaan duniawi sering kali membawa godaan yang dapat menjauhkan seseorang dari Allah. Jalaluddin Rumi, misalnya, menekankan pentingnya menjalani hidup yang sederhana dan bersikap rendah hati meskipun berada di posisi kekuasaan.
Namun, tidak berarti bahwa para sufi menolak terlibat dalam politik. Beberapa tokoh sufi, seperti Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Sirhindi, terlibat langsung dalam memberikan nasihat kepada penguasa. Mereka memandang bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus diemban dengan hati-hati dan selalu mengingat bahwa kehidupan duniawi hanya bersifat sementara.
Dalam perspektif Aswaja dan sufi, nilai-nilai moral yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah adalah pedoman utama dalam berpolitik. Konsep seperti ikhlas, tawadhu’ (rendah hati), hikmah (kebijaksanaan), dan shiddiq (kejujuran) menjadi landasan bagi seorang pemimpin untuk bertindak. Hal ini bertujuan agar politik tidak hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan tetapi juga sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan umat manusia.
Pemimpin sufi, menurut pandangan ini, bukan hanya seorang yang memiliki kekuatan fisik dan kekuasaan politik, melainkan seorang yang memiliki kedalaman spiritual yang mampu membimbing masyarakat dengan akhlak yang mulia.
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya stabilitas dan persatuan umat dalam konteks politik. Mereka memandang bahwa perpecahan hanya akan melemahkan umat Islam, dan karena itu, politik harus diarahkan untuk menjaga harmoni dan persatuan.
Dalam konteks politik kontemporer, ulama Aswaja sering kali menekankan pentingnya menjaga wasathiyah (moderat) dalam berpolitik. Sikap ekstrem, baik itu dalam bentuk radikalisme agama maupun sekularisme, dianggap bertentangan dengan prinsip Aswaja yang mengutamakan keseimbangan dan kemoderatan.
Politik dalam perspektif sufi dan Aswaja adalah politik yang menekankan pada dimensi spiritual dan moral. Kekuasaan dilihat sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, adil, dan memperhatikan kesejahteraan umat. Para ulama dan tokoh sufi menekankan pentingnya akhlak mulia dalam setiap aspek kehidupan politik dan memandang bahwa pemimpin yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan antara aspek duniawi dan ukhrawi.
Keterlibatan sufi dalam politik bukan untuk mengejar kekuasaan, tetapi lebih kepada memastikan bahwa politik dijalankan sesuai dengan ajaran agama dan membawa kebaikan bagi masyarakat.