Foto:Ilustrasi (Cuplikcom- IDW)
Jakarta-Cuplikcom-Diskusi ini mengungkap isu yang sangat sensitif dan kompleks, terutama karena fenomena ini berlangsung sejak dini dalam ranah pendidikan. Pola pengasuhan yang sangat ketat, atau sering disebut strict parenting , sering kali menekan anak untuk terus berprestasi namun tanpa memberikan ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri dengan sehat. Akibatnya, sebagian anak-anak ini merasa terbatasi, bahkan kehilangan jati diri, dan mencari kenyamanan di luar rumah, sebuah kebutuhan emosional yang mungkin tidak mereka dapatkan dari keluarga.
Di sinilah peran sosok ayah dan pola asuh yang mendukung menjadi kunci dalam perkembangan anak. Menurut psikolog asal Jerman, Erik Erikson, krisis identitas pada remaja sering kali muncul ketika anak kehilangan dukungan emosional dan stabilitas dari sosok ayah. Erikson menegaskan bahwa peran ayah dapat membentuk identitas dan kestabilan emosi yang penting dalam perjalanan anak menuju kedewasaan. Tanpa kehadiran ini, anak-anak cenderung merasa kehilangan arah dan akhirnya mencari pelarian di luar lingkungan rumah.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada lingkungan keluarga, namun kini merambah ke lingkungan sekolah. Ironisnya, sekolah sering kali hanya menilai siswa dari aspek prestasi akademis atau sifat baik mereka, tanpa menyadari bahwa di balik semua itu, banyak siswa yang mungkin sedang menghadapi krisis identitas atau masalah emosional. Dalam beberapa kasus, siswa yang menonjol prestasinya justru mengalami tekanan internal, yang membuat mereka mencari pelarian dalam hubungan emosional yang mungkin berkembang menjadi ketertarikan romantis atau seksual yang kurang sesuai dengan nilai keluarga atau sekolah.
Prestasi akademik seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan kesehatan mental dan emosional siswa. Ketika sekolah dan orang tua lebih fokus pada capaian akademik, sering kali ada masalah yang tersembunyi di balik pencapaian tersebut. Siswa yang tampak baik di permukaan sebenarnya bisa jadi tengah berjuang dengan kebutuhan emosional mendalam yang terabaikan.
Sekolah dan orang tua harus bekerja sama dalam menangani situasi ini secara menyeluruh, bukan dengan sikap permisif atau pengabaian. Mendorong siswa untuk berkonsultasi dengan psikolog atau konselor profesional adalah langkah penting untuk memahami kebutuhan mereka yang mendalam, dan menciptakan pola asuh yang lebih seimbang. Pendampingan psikologis memungkinkan terjadinya intervensi berbasis ilmu yang lebih objektif, sehingga siswa dapat berkembang tanpa merasa dihakimi dan mendapatkan dukungan penuh dalam lingkungan yang sehat.
Langkah ini adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya bermanfaat bagi siswa, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa sekolah dan keluarga benar-benar peduli terhadap perkembangan siswa secara utuh, bukan hanya aspek-aspek akademis yang terlihat di permukaan.
Khususnya, Kemendikdasmen dan Kemenag memiliki peran penting dalam menjaga fondasi pendidikan di sekolah umum maupun madrasah. Institusi pendidikan tidak hanya bertanggung jawab dalam aspek akademis, tetapi juga dalam menjaga kesehatan psikologis dan emosional siswa. Penting bagi mereka untuk memperhatikan pola-pola yang menunjukkan tekanan emosional pada siswa agar fenomena serupa tidak berulang di masa mendatang.
Kemendikdasmen dan Kemenag dapat menginisiasi program khusus yang mendorong kolaborasi antara sekolah dan ahli psikologi pendidikan. Intervensi terstruktur, seperti program kesehatan mental atau konseling yang melibatkan orang tua, guru, dan konselor, dapat membantu mendeteksi serta menangani masalah siswa lebih dini. Pelatihan bagi tenaga pendidik untuk mengenali tanda-tanda tekanan psikologis juga akan menjadikan lingkungan sekolah lebih responsif terhadap kebutuhan anak.
Dengan pendekatan ini, diharapkan peran pendidikan dapat diperkuat untuk menyediakan ruang yang aman dan sehat bagi siswa, sehingga mereka dapat berkembang tanpa mengorbankan nilai-nilai dan tujuan utama pendidikan. Ini adalah investasi dalam menciptakan generasi mendatang yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga seimbang secara emosional dan sosial.
Praditiyo Ikhram, S.Pd.A
kademisi Kebijakan Pendidikan & Wakil Koordinator Indonesia Education Watch