Supendi Samian, penulis (Cuplikcom/ist)
Oleh:
Supendi Samian (Ketua STIDKI NU Indramayu)
Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar Nusantara, dalam karya tafsirnya "Tafsir Marah Labid" atau dikenal juga sebagai Tafsir al-Munir, menafsirkan Surah Al-Mumtahanah ayat 8 dengan pandangan yang mencerminkan keluwesan Islam dalam hubungan sosial.
Menurut Syekh Nawawi, ayat ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya membolehkan tetapi juga mendorong umatnya untuk berbuat baik (tabarru') dan berlaku adil (qisth) kepada orang non-Muslim selama mereka tidak memusuhi Islam atau memerangi umat Islam. Beberapa poin penting dari penafsirannya adalah sebagai berikut:
1. Hubungan Baik antara Muslim dan Non-Muslim
Syekh Nawawi menegaskan bahwa ayat ini menjadi dalil atas kebolehan berinteraksi dengan non-Muslim dalam hal-hal yang bersifat sosial, seperti berdagang, bermuamalah, atau bekerja sama dalam hal kebaikan, selama tidak ada permusuhan atau ancaman terhadap agama.
2. Batasan dalam Berbuat Baik
Meski Islam membolehkan berbuat baik kepada non-Muslim, ada batasan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
Tidak boleh mendukung mereka dalam tindakan yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Tidak boleh menjadikan mereka sebagai sekutu dalam perkara yang memusuhi Islam.
3. Toleransi dan Keadilan
Syekh Nawawi menekankan bahwa prinsip toleransi dan keadilan dalam Islam mencakup seluruh manusia, tanpa memandang agama. Hal ini sesuai dengan ajaran universal Islam yang menekankan kasih sayang (rahmah) dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Aplikasi dalam Kehidupan
Syekh Nawawi juga mencatat bahwa hubungan baik ini dapat berupa bantuan sosial, penghormatan terhadap hak-hak mereka, dan menjaga perdamaian dalam masyarakat yang plural. Bahkan, beliau mengutip hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan interaksi Nabi dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam hal perdagangan dan muamalah sebagai contoh nyata.
5. Konteks Sejarah
Syekh Nawawi memahami ayat ini dalam konteks historis di mana umat Islam di Madinah hidup berdampingan dengan berbagai kelompok agama. Ayat ini menjadi pedoman dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani atas ayat ini menegaskan bahwa hubungan baik antara Muslim dan non-Muslim tidak hanya boleh tetapi juga dianjurkan selama tidak ada ancaman terhadap agama. Pandangan beliau ini mencerminkan keluwesan dan keuniversalan ajaran Islam dalam menciptakan kedamaian dan toleransi antarumat beragama.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Penafsiran ini sangat relevan dalam konteks dunia modern, terutama di Indonesia yang merupakan masyarakat plural. Umat Islam dapat menjadikan pandangan ini sebagai pedoman untuk membangun hubungan harmonis dengan sesama manusia, tanpa melupakan prinsip-prinsip agama.
Ditegaskan dalam Qur'an surat Al-Mumtahanah ayat 8 yaitu
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨
"Laa yanhaakumuLlaahu 'anil-ladziina lam yuqaatiluukum fid-diin walam yukhrijuukum min diyaarikum an tabarruuhum wa tuqsituu ilaihim, innallaaha yuhibbul-muqsiṭiin."
Artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
1. Konteks Ayat
Ayat ini turun dalam konteks hubungan kaum Muslim dengan non-Muslim di Madinah. Ayat ini memberikan panduan jelas tentang bagaimana seorang Muslim harus bersikap terhadap orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi agama Islam. Allah mengarahkan umat Islam untuk memperlakukan mereka dengan baik (ihsan) dan berlaku adil.
2. Makna “Tabarruuhum” (Berbuat Baik)
Kata tabarruuhum berasal dari akar kata birr, yang berarti kebaikan yang tulus dan menyeluruh. Dalam konteks ayat ini, umat Islam dianjurkan untuk melakukan kebaikan kepada non-Muslim, seperti membantu mereka dalam kebutuhan sosial, ekonomi, atau kemanusiaan, asalkan mereka tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam.
3. Makna “Tuqsituu” (Berlaku Adil)
Keadilan adalah prinsip utama dalam Islam, tidak hanya kepada sesama Muslim tetapi juga kepada non-Muslim. Sikap adil berarti memberikan hak-hak mereka tanpa membeda-bedakan agama, suku, atau ras.
4. Prinsip Toleransi Beragama
Ayat ini menegaskan bahwa Islam mengajarkan toleransi dalam hubungan antaragama. Selama non-Muslim tidak memusuhi atau mengusir umat Islam dari tempat tinggal mereka, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk memperlakukan mereka dengan buruk.
5. Hubungan dengan Ayat Lain
Ayat ini berkaitan dengan ayat berikutnya (Al-Mumtahanah: 9) yang melarang umat Islam untuk menjalin hubungan erat dengan mereka yang memerangi Islam. Hal ini menekankan keseimbangan: umat Islam tidak hanya diminta untuk bersikap baik, tetapi juga tetap waspada terhadap ancaman nyata terhadap agama.
6. Relevansi Ayat dalam Kehidupan Modern
Dalam masyarakat yang pluralistik, ayat ini menjadi pedoman penting untuk menciptakan harmoni antar umat beragama. Islam mengakui keberagaman dan menekankan pentingnya hidup berdampingan dengan damai, dengan syarat tidak ada ancaman terhadap keimanan dan kedamaian umat Islam.
7. Allah Mencintai Orang-Orang yang Berbuat Adil
Penutup ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah sifat yang dicintai Allah. Hal ini menggarisbawahi bahwa berbuat adil adalah bentuk ibadah yang mendekatkan manusia kepada-Nya.
Surah Al-Mumtahanah ayat 8 menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian, keadilan, dan toleransi. Umat Islam diajarkan untuk memperlakukan semua manusia dengan baik, termasuk non-Muslim, selama mereka tidak menunjukkan permusuhan terhadap agama atau mengganggu stabilitas sosial. Ayat ini menjadi landasan penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis di tengah keberagaman.