SBMI saat aksi di depan Kedubes Myanmar di Jakarta (Cuplikcom/ist)
Cuplikcom - Jakarta - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) seruduk kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Myanmar di Jakarta, Senin (3/2/2025). SBMI bersama para keluarga korban dan korban industri online scam di Myanmar melakukan aksi damai dan audensi, menuntut segera pulangkan dan ambil langkah konkrit selamatkan WNI yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) online scam di Myanmar.
Sekretaris Jenderal SBMI, Juwarih, menyampaikan bahwa kejahatan perdagangan orang dan kerja paksa dengan modus online scam semakin meluas dan menjerat banyak pekerja migran, termasuk WNI yang kini masih terjebak di Myawaddy, Myanmar. Situasi ini membutuhkan respons cepat dan tindakan nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah tak terkecuali masyarakat secara luas.
“SBMI, bersama para korban dan penyintas, mendesak Pemerintah Myanmar dan Pemerintah Indonesia untuk segera mengevakuasi serta memulangkan Pekerja Migran Indonesia yang menjadi korban TPPO dengan modus online scam. Selain itu, kami juga menuntut Pemerintah Myanmar untuk menindak secara hukum perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan WNI dalam industri ini, yang terindikasi kuat melakukan kerja paksa dan TPPO. Lebih dari itu, kami mengajak seluruh masyarakat ASEAN untuk bersolidaritas dalam mendukung para korban serta bersama-sama memerangi kejahatan di industri online scam. Kejahatan ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung tinggi," papar Juwarih.
Dijelaskan Juwarih, Saat ini SBMI mendampingi 79 orang yang disekap oleh berbagai perusahaan di Myawady, Myanmar. Korban mengalami penyiksaan, kekerasan, intimidasi, dan isolasi dari dunia luar.
SBMI bersama keluarga korban telah melaporkan kasus ini kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lapor Mas Wapres, Kantor Staf Presiden, Kementerian P2MI/BP2MI, Komnas HAM sejak Agustus tahun 2024.
"Sangat disayangkan hingga saat ini belum ada kejelasan perkembangan informasi untuk evakuasi para WNI," terang Juwarih.
Oleh karenanya, dengan aksi damai dan audensi ini, SBMI mengajak seluruh elemen masyarakat, media, dan organisasi terkait untuk turut serta dalam mendukung upaya perlindungan bagi korban online scam dan mendesak tindakan nyata dari pemerintah.
"Melalui audiensi dan aksi damai ini, SBMI berharap adanya aksi konkret dari Pemerintah Myanmar dan Pemerintah Indonesia untuk segera menyelamatkan WNI yang menjadi korban online scam di Myanmar," tegas Juwarih.
Pengakuan Korban dan Keluarga Korban
Salah satu anggota keluarga, Yeni, turut mengungkapkan kemarahan dan kesedihan terhadap perlakuan tidak manusiawi yang dialami adiknya, yang dipaksa bekerja dalam kondisi kejam, mengalami kekerasan fisik dan verbal. Keluarga menjelaskan bahwa adiknya hanya diberikan waktu istirahat selama empat jam sehari, mendapat makanan terbatas, dan hingga kini belum menerima gaji, serta sering disuruh berlari keliling lapangan sebagai hukuman.
“Adik saya sejak 14 Agustus 2024 sudah pergi ke Myanmar, dan hingga saat ini belum kembali. Kalau ada kesempatan ia masih bisa menghubungi kami keluarganya dan permintaannya hanya ingin kembali ke Indonesia. Kami mendapat kabar kalau ia mengalami kekerasan oleh para atasannya di Myanmar serta belum mendapat gaji sama sekali. Saya berharap sekali pemerintah bisa segera memulangkan adik saya dan korban lainnya ke tanah air," ungkap Yeni.
Senada dengan itu, salah satu korban yang berhasil kembali ke Indonesia, Rian mengungkapkan direkrut dan diiming-imingi bekerja diluar negeri secara prosedural dan mendapat gaji tinggi. Namun, setelah sampai di Myanmar, Rian sudah merasa ada yang tidak beres pada perusahaan tersebut.
“Awalnya, saya ditempatkan di bagian perekrutan, tetapi saya menolak melanjutkan pekerjaan tersebut karena tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama seperti saya. Penolakan saya berujung pada hukuman fisik dan kekerasan verbal yang diberikan secara terus-menerus hingga akhirnya saya dipindahkan ke divisi bisnis, yang sebenarnya tetap merupakan bagian dari skema penipuan. Saya, bersama yang lain, terjebak di sana selama empat bulan sebelum akhirnya berhasil keluar pada November 2024. Harapan saya, pemerintah segera mengadakan sosialisasi soal online scam yang marak ini, digaungkan sebesar besarnya. Karena yang menjadi korban sebenarnya berlatar belakang pendidikan tinggi, namun kami terjebak karena tidak punya pilihan," terang Rian.
SBMI dan Kasus Online Scam
Ketua Umum SBMI, Hariyanto, menjelaskan, sepanjang tahun 2020-2024, SBMI telah menangani 344 kasus online scam atau forced scam, dengan 95% di antaranya memenuhi unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
"Modus kejahatan ini sering kali menjanjikan gaji besar kepada korban, tetapi pada kenyataannya para korban dipaksa melakukan penipuan seperti investasi bodong di bawah ancaman kekerasan dan kerja paksa," jelasnya.
Berdasarkan data pengaduan korban kepada SBMI, menunjukkan semakin banyak laporan mengenai warga negara Indonesia korban TPPO yang terjebak dalam modus online scam di Myanmar. Para korban direkrut dengan janji dipekerjakan di perusahaan digital dan perusahaan pasar saham, tetapi kemudian dipaksa bekerja dalam kondisi kerja paksa yang menunjukkan indikasi kuat TPPO.
"Pelaku kejahatan ini memanfaatkan media sosial untuk merekrut korban dengan menggunakan informasi pribadi yang diunggah oleh calon korban," papar Hari, sapaan akrabnya.
Dalam audiensi ini, SBMI menekankan pentingnya evakuasi dan penyelamatan para korban dari Myanmar sebagai prioritas utama. Selain itu, SBMI menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku industri online scam di Myanmar serta mendesak pemulangan dan pelindungan bagi WNI yang disekap di Myawady, Myanmar.
"SBMI juga menuntut tindakan hukum terhadap perusahaan yang terlibat dalam industri online scam dan mendorong langkah-langkah global untuk menghentikan perdagangan orang dengan modus online scam," pungkas Hariyanto.