Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) -bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) --menemukan lebih dari 108 peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan yang pernah diterbitkan Pemerintah. Bentuknya beragam, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan yang lebih teknis seperti Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah.
Dari jumlah yang teridentifikasi PSHK lewat "Kajian Kerangka Hukum untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan", peraturan terbanyak justru menyangkut kerjasama bilateral kebudayaan dan kesenian (18), disusul peraturan tentang pajak dan retribusi daerah (13), dan kebijakan fiskal (12). Peraturan yang langsung bersintuhan seperti pendidikan seni (7), penghargaan seni (5) dan cagar budaya (3) justru lebih sedikit.
Demikian antara lain penelitian PSHK yang disosialisasikan ke kalangan seniman dan budayawan di Taman Ismail Marzuki, Kamis (30/4) kemarin. Imam Nasima, peneliti PSHK, menjelaskan ada kecenderungan tindakan aktif Pemerintah selama periode 1991-1995 dan 1999-2008 yang ditujukan atau berdampak pada kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Tetapi, Imam mengingatkan, meskipun ada tren peningkatan jumlah peraturan, kebutuhan akan regulasi yang jelas mengenai berkesenian dan berkebudayaan masih tinggi. "Sebab, peraturan-peraturan yang ada belum berhasil memecahkan masalah riil," jelas Imam.
Jumlah peraturan yang berhasil diidentifikasi selama penelitian memang lebih dari seratus -bahkan jumlahnya pasti lebih banyak. Tetapi kebanyakan tidak didasarkan pada suatu masalah nyata, sehingga cenderung tidak implementatif. Misalnya, regulasi tentang perjanjian bilateral mengenai kebudayaan atau kesenian, peraturan pajak, dan kebijakan fiskal.
PSHK juga menemukan perbedaan karakter pengaturan pada periode dengan jumlah peraturan tinggi. Pada periode 1991-1995 terdapat "proyek kebudayaan" yang diduga lebih bermuatan politis dan kurang memperhatikan masalah teknis. Pada periode 1999-2008, sebagian besar peraturan ditetapkan akibat perubahan institusional, sehingga masalah teknis juga luput.
PSHK merekomendasikan perlunya penyesuaian peraturan perundang-undangan kesenian dan kebudayaan dengan roh konstitusi yang baru. Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya". Bahasa daerah, menurut ayat (2) merupakan bagian dari kebudayaan nasional yang harus dihormati dan dipelihara negara. Dalam hal ini, PSHK mendorong agar seniman dan budayawan mendorong perubahan peraturan, khususnya terkait dengan masalah riil yang dihadapi.
Sejarawan dan budayawan Taufik Abdullah mengapresiasi penelitian PSHK tersebut. Tetapi ia meminta agar penelitian tidak sebatas memetakan peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah, melainkan lebih jauh lagi ke dalam isi peraturan. Taufik berharap ukuran yang digunakan untuk meneliti relevansi peraturan itu adalah jaminan yang sudah diberikan UUD 1945. "Penelitian ini perlu dilanjutkan," ujarnya.
Seniman yang juga seorang pengacara, M. Husseyn Umar, sependapat dengan Taufik. Ia menyarankan dilakukan suatu ‘cultural legislation review project" yang lebih menyeluruh dan melibatkan lebih banyak seniman dan budayawan.
Sukri Abdurrahman dari LIPI mengeritik penelitian PSHK yang -menurut dia-terlalu menekankan pada kuantitas peraturan bidang kesenian dan kebudayaan, bukan sebaliknya pada kualitas isi. "Akibatnya, kualitas peraturan tersebut tidak terjawab lewat penelitian ini," ujarnya.
Selain itu Sukri meminta agar kajian terhadap peraturan dipisah berdasarkan tingkatan peraturan perundang-undangannya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya dibahas bersama dengan Undang-Undang lain. Demikian pula dengan jenis peraturan lain.