Kantor Kementerian Agama RI (Cuplikcom/Lux)
Oleh: Praditiyo Ikhram, S.Pd. (Wakil Koordinator Indonesia Education Watch)
Cuplikcom-Jakarta-Kesejahteraan guru harus menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan, namun kenyataannya berbeda. Gaji pegawai yang dibiayai dana hibah Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta masih belum dibayarkan, pertanda adanya permasalahan manajemen di tingkat Kementerian Agama Kota.
Dana hibah ini sepatutnya mendukung guru madrasah mendapatkan haknya tepat waktu, namun hingga saat ini pencairannya masih tersendat selama tiga bulan. Meskipun demikian, menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 818 Tahun 2023, UMP DKI Jakarta 2024 ditetapkan sebesar Rp5.067.381 per bulan. Namun, gaji guru madrasah yang mendapatkan dana hibah UMP masih terjebak di angka Rp3,9 juta, tanpa ada peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir.
Selain itu, pemotongan pajak sebesar Rp200 ribu sejak 2018 menyebabkan gaji yang diterima pegawai hanya sekitar Rp3,7 juta—angka yang masih jauh dari standar UMP yang berlaku. Keterlambatan pencairan dana hibah ini semakin meningkatkan situasi, terutama karena pencairannya yang seharusnya dilakukan setiap dua bulan kini tertunda hingga tiga bulan.
Fenomena ketimpangan tersebut menimbulkan pertanyaan besar terkait efektivitas manajemen biaya dan mekanisme pencairan dana pada tingkat Kemenag Kota. Jika pemerintah daerah telah menetapkan UMP sebagai pedoman kesejahteraan pekerja, mengapa penerapannya di lapangan masih dapat menemukan semua halangan dan sementara.
Guru madrasah yang berperan sentral dalam mencerdaskan generasi bangsa seharusnya tidak terus-menerus menghadapi ancaman finansial karena proses birokrasi yang belum optimal. Langkah konkret dan percepatan dalam pencairan dana sangat diperlukan agar kesejahteraan tenaga pendidik tetap terjaga. Apakah Kemenag Kota akan segera mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan ini, ataukah perbaikan sistem masih menjadi harapan yang tertunda?
Pada akhirnya, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah guru madrasah akan tetap ikhlas beramal di tengah mencakup kebijakan birokrasi yang terus berulang?