(Cuplikcom/Ist)
Cuplikcom - Lampung Selatan - Ketua Komisi I DPRD Lampung Selatan, Edi Waluyo respon terkait polemik program bantuan hukum desa yang menjalin kerja sama dengan lembaga yang belum terakreditasi baik sebagai OBH (Organisasi Bantuan Hukum) maupun organisasi PBH (Pemberi Bantuan Hukum), sebagaimana amanah UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan aturan pelaksanaannya.
Dalam waktu dekat, kata Edi, Komisi I bakal undang pihak terkait, seperti Dinas PMD dan Inspektorat untuk mengadakan rapat dengar pendapat (Hearing) guna membahas polemik tersebut agar tidak menjadi simpang siur.
"Kita akan konfirmasi langsung ke Dinas PMD, aturannya seperti apa, yang dibolehkan seperti apa, pelaksanaannya bagaimana, nanti kita tanya ke (Dinas) PMD, sekalian juga nanti kita undang Inspektorat," ujar Edi Waluyo saat ditemui di Komisi I, Senin 17 Maret 2015.
Sementara sebelumnya diwartakan, terungkap hampir seluruh desa yang ada di Lampung Selatan, sejak awal tahun 2025 telah menjalin kerja sama dalam program bantuan hukum desa dengan sejumlah lembaga yang belum terakreditasi baik sebagai OBH (Organisasi Bantuan Hukum) maupun organisasi PBH (Pemberi Bantuan Hukum).
Padahal, sebagaimana yang diamanahkan didalam undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum maupun PBH Peraturan Menkumham Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Standar Layanan Bantuan Hukum dan Pedoman Standar Layanan, bahwa pelaksanaan bantuan hukum diwajibkan oleh PBH yang telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum.
"Sejumlah lembaga tersebut diantaranya, Yayasan LBH Ikam, Kantor Hukum Rusman Efendi SH MH & Partners serta Kantor Hukum WFS & Rekan. Dimana kerja sama tersebut dituangkan di dalam MoU (Memorandum of Understanding) dengan besaran anggaran bantuan hukum perdesa bervariasi, dari Rp3,5 hingga 7,5 juta pertahun anggaran," ungkapnya.
Selain menyoroti soal kapasitas lembaga tersebut yang belum terakreditasi, sumber media juga mengkritisi soal pembayaran dari pihak desa ke lembaga-lembaga tersebut yang tertuang di dalam masing-masing MoU. Dimana sistem penyaluran dananya tidak dilaksanakan melalui mekanisme reimbursement. Atau klaim penggantian biaya atas jasa yang sudah diberikan.
"Tapi di dalam beberapa subtansi poin pada MoU kerja sama bantuan hukum yang saya dapat, sistem pembayaran hanya menyebutkan waktu pembayaran sesuai dengan termin pencairan DD, tidak menyebutkan pembayaran dilakukan oleh pihak desa setelah jasa bantuan hukum diberikan (Reimbursement). Bahkan ada juga pihak desa yang telah membayar dengan cara transfer terlebih dahulu," ujarnya.
"Harusnya mekanisme penyaluran dananya itu dilakukan dengan cara reimbursement
setelah rangkaian penyelesaian perkara, baik litigasi maupun nonlitigasi, selesai dilakukan oleh PBH. Hal ini sebagaimana diatur secara teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015 jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 63 Tahun 2016 tentang Peraturan Pelaksanaan Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum," imbuhnya.*