Dalam tatacara mendapatkan WIUP, di Substansi RPP tersebut dinyatakan pihak yang berhak atas WIUP dibatasi kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perseorangan. Ketentuan ini sebagaimana termaktub dalam klausul tatacara mendapatkan WIUP di RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Menurut Pasal 5 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sehingga, investor asing yang hendak mengikuti lelang WIUP haruslah berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah RI, meskipun belum mengikuti lelang.
Konsultan hukum pertambangan Dendi Adisuryo melihat terdapat celah hukum dalam pengaturan tersebut. Menurutnya, kunci dari peningkatan investasi di dunia pertambangan terletak pada simbiosis easy entry-exit policy. "Artinya, harus dipermudah untuk masuk dan keluar," ujarnya dalam suatu workshop pertambangan, Kamis (30/4).
Dia menghimbau agar perancang peraturan memikirkan, apakah badan hukum yang sudah terlanjur didirikan dapat dibiarkan atau dibubarkan. "Kalau tidak menang lelang, bagaimana exit policy-nya?" tantangnya.
Dendi merasa prihatin tidak adanya upaya untuk memikirkan kelanjutan nasib investor asing yang sudah kadung mendirikan badan hukum sebagaimana ditentukan UU No. 25/2007 itu, namun tidak dapat exist dalam bisnis lantaran tidak menang lelang.
Dendi menyarankan agar diberikan relaksasi peraturan khusus untuk industri pertambangan. Misalnya, tidak perlu diwajibkan mendirikan badan hukum, yang penting ada performa. "Undang-Undang ini (UU Minerba No. 4 Tahun 2009) harusnya investor-friendly, yang harus menjadi aktivitas bisnis bisa dilakukan dengan nyaman," imbuhnya.
Memberi kenyamanan aktivitas bisnis, menurut Dendi, bukan berarti membuat UU Minerba harus selalu menjamin kepentingan asing. Namun, dia mengharapkan easy entry-exit policy diadakan dalam tahap tertentu. "Dalam arti, secara adminstratif tidak ada masalah," paparnya lagi.
Selagi pembahasan RPP itu masih dalam tahap mengumpulkan feedback dari masyarakat, Dendi memberi sebuah masukan. Yaitu, entitas asing yang menjadi pemain besar di negara asalnya, diberikan kemudahan untuk dibebani kewajiban membentuk badan hukum sebelum mengikuti lelang.
Meski Dendi cenderung menginginkan adanya relaksasi bagi pihak tertentu, namun tidak berarti dia menentang filter sepenuhnya. "Setuju ada filter di awal, tapi barrier to entry itu seharusnya untuk mencegah perusahaan yang tidak punya kompentensi dan landseeker (pencari tanah) masuk ke dalam industri."
Kehadiran landseeker dinilai Dendi dapat berakibat buruk bagi industri pertambangan. "Perusahaan yang konsisten dan yang core business-nya tetap di pertambangan yang kita butuh," tegasnya.
Tak Perlu Badan Hukum
Filter di awal sendiri, menurut Dendi, seharusnya seperti minimal modal perusahaan karena banyak perusahaan tambang yang modalnya kurang kuat. Dia berharap ada Peraturan Pemerintah yang akan mengatur hal ini.
Pernyataan Dendi didukung Vice President Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat untuk Hubungan Ekonomi Internasional Kawasan Asia Pasific, Fakir Chand Dhillon. Saat ditanya perlukah diatur kewajiban mendirikan badan hukum sebelum lelang? Dhillon dengan tegas menjawab, "Tidak."
Dhillon menilai, kewajiban itu hanya akan memberatkan perusahaan yang asalnya kontraktor umum kesulitan mengalihkan bisnisnya ke pertambangan karena dalam Daftar Negatif Investasi belum diubah. "Di Undang-Undang yang baru kan tidak bisa kontraktor umum," ujarnya.