Perkawinan sepertinya kini bukan menjadi sesuatu yang sakral lagi. Buktinya belakangan ini jumlah kasus perceraian semakin membubung tinggi. Data dari Departemen Agama RI menyebutkan, perceraian di Indonesia telah meningkat 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 20.000 kasus per tahun menjadi lebih dari 200.000 kasus per tahunnya.
Konselor dari Jagadnita Consulting, Dewi Minangsari, menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2006, rata-rata terjadi 1,8 juta pernikahan setiap tahunnya dengan 143.000 perceraian per tahun. Bila dihitung persentase perceraian per tahun sudah menyentuh angka 8 persen.
Pemilik konsultan yang menangani masalah keluarga ini mengatakan, banyak hal yang menyebabkan semakin tingginya angka perceraian di Indonesia. Dalam acara "Sariwangi Mari Bicara" Jembatani Perbedaan Antar Pasangan dengan Komunikasi yang diadakan Sariwangi, Jakarta, 28 April 2009, dia memaparkan pada 2005 tercatat 54.000 kasus perceraian diakibatkan ketidakcocokan atau perselingkuhan.
"Perselingkuhan banyak terjadi karena kurangnya kesiapan dalam pernikahan," tutur dosen konseling keluarga dari Universitas Atma Jaya Jakarta ini. Penyebab selanjutnya adalah ketidakharmonisan, yaitu sebanyak 46.000 kasus. Kesulitan ekonomi 24.000 kasus, campur tangan saudara 9.000 kasus, krisis keluarga 4.700 kasus, pernikahan paksa 1.700 kasus, kekerasan domestik 900 kasus, poligami 879 kasus, cacat biologis (seperti kemandulan) 580 kasus, pernikahan dini 284 kasus, sampai pada penyebab karena hukuman penjara yaitu 150 kasus.
Dari banyak kasus yang ditanganinya, Dewi juga mengungkapkan bahwa komunikasi yang macet menjadi penyebab timbulnya masalah keluarga yang berujung pada perceraian. "Segera kenali pola komunikasi yang bermasalah. Lalu perjelas apa yang diinginkan," pesan Dewi.
Sependapat dengan Dewi, psikolog keluarga dari Kasandra & Associates, Kasandra Putranto M.Psi mengatakan, komunikasi yang efektif dapat membentuk karakter psikologis, spiritual, bahkan dapat membina hubungan seksual yang harmonis.
Ia menyarankan para pasutri untuk menggunakan waktu yang efektif untuk ngobrol atau sharing atau bahkan curhat (mencurahkan isi hati) baik itu dari suami dan istri. Dengan begitu keindahan dalam berpacaran akan terus dipupuk dan dijaga hingga perkawinan. Yang tentunya buahnya akan dituai oleh anak-anak di kemudian hari, yang hendak berumah tangga.
"Setiap pasangan memiliki cara berkomunikasi yang berbeda untuk membicarakan masalah keluarga. Seks yang indah dan romantis menjadi salah satunya," ucap Kasandra.
Selain komunikasi, perselingkuhan keegoisan salah satu pihak juga bias memicu perceraian. "Masalah yang kerap kali dilontarkan beberapa klien saya tentang masalah keluarga, adalah keegoisan dari setiap pribadinya, maunya menang sendiri. Dan hal yang sulit diterapkan ialah kesombongan diri untuk berubah," ujar psikolog yang juga pengarang buku "METAMORFOSIS Menjadi (seperti) Kupu Kupu".
Kasandra melanjutkan, jika orang tersebut berpikiran sulit untuk berubah, maka dalam penerapannya juga akan sulit. Walaupun terdapat fase-fase menuju perubahan, yang tetap menjadi pertanyaan mendasar ialah apakah ia mau berubah.
"Untuk menyuruh seseorang berubah, harus menunggu waktu yang tepat. Tidak bisa begitu saja diberitahukan bahwa mereka harus berubah. Dan beri motivasi mereka untuk berubah," katanya.
Kasandra menjelaskan, untuk menyelamatkan sebuah perkawinan, tidak hanya harus dilakukan kedua belah pihak saja, tetapi bisa dilakukan sendiri.Dengarkan apa yang diharapkan dari pasangan kita kemudian seimbangkan. Serta mengatasi kondisi emosi dan psikologi kita. Perubahan dalam sebuah keluarga tidak akan efektif bila tidak dimulai dengan komunikasi yang baik.
"Orang kedua" juga menjadi faktor lain pemicu retaknya sebuah hubungan. Apalagi sekarang menjadi nomor "orang kedua" telah menjadi profesi yang membanggakan bagi beberapa orang.
"Hampir semua orang bangga menjadi nomor 'dua' dan akhirnya berlomba-lomba untuk mendapatkan 'profesi' tersebut, dan oleh sebab itu mengapa tren perselingkuhan pun meningkat," ucap Kasandra yang juga hadir pada kesempatan yang sama.
Psikolog ternama asal Amerika Serikat, Neil Clark Warren, dalam bukunya yang berjudul Learning To Live With the Love Of Your Life mengatakan bahwa komunikasi tak harus butuh waktu lama. Yang penting komunikasi harus dilakukan secara maksimal.
"Cukup dengan berkomunikasi dalam waktu lima menit saja dan dilakukan setiap hari, maka itu akan mendatangkan hal yang positif bagi hubungan yang sedang dijalankan," kata Kasandra Putranto.