Para ahli yang dihadirkan adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram Basuki Prayitno dan peneliti tembakau, Samsuri. Dari barisan saksi, hadir Kadis Perkebunan Nusa Tenggara Barat (NTB) Mawari Haikal, Kadis Pendapatan Daerah NTB Lalu Suparman, serta Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Daerah Lombok, Lalu Hatman.
Para saksi maupun ahli memiliki satu suara dalam menyikapi permohonan yang diajukan oleh Gubernur NTB Zainul Majdi ini. Mereka meminta Pemerintah berpihak kepada petani tembakau. "Harapan petani, supaya daerah kami mendapat alokasi cukai," ujar Lalu Hatman di ruang sidang MK, Selasa (10/2).
Lalu Hatman mengaku kecewa karena yang mendapat dana hasil cukai hanya daerah-daerah pemilik pabrik rokok saja, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. "Kami di NTB tidak dapat," ujarnya. Padahal, selama ini, NTB adalah penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Luas lahan tembakau di daerah ini saja mencapai 20.000 hektare.
Kegundahan petani tembakau ini sama dengan apa yang dirasakan oleh Gubernur Zainul Majdi. Karenanya, pria yang akrab disapa Tuan Guru Bajang ini mengajukan judicial review Pasal 66A ayat (1) UU Cukai ke MK. Pasal itu dinilai tidak adil karena hanya memberikan dana cukai hasil tembakau kepada daerah yang memiliki pabrik rokok. Dengan kata lain, Provinsi NTB yang tak memiliki pabrik rokok walau penghasil tembakau terbesar terpaksa gigit jari.
Pada sidang yang sama, Basuki menilai ada kerancuan terhadap pengaturan tersebut. Dosen Universitas Mataram ini menunjuk Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan yang ditandatangani Sri Mulyani itu, disebutkan peruntukan dana cukai hasil tembakau salah satunya untuk peningkatan kualitas bahan baku. "Bahan baku itu kan ada di provinsi penghasil tembakau," tuturnya.
Kekosongan Hukum
Dalam sidang kali ini, pemohon juga mengubah sedikit petitum atau permintaannya kepada MK. Bila sebelumnya, pemohon mempersoalkan frase ‘dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau' dalam Pasal 66A ayat (1) UU Cukai, kali ini pemohon justru menguji seluruh isi pasal. "Kita memang meminta MK menyatakan Pasal 66A ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas kuasa hukum pemohon, Andy Hadiyanto.
Secara lengkap, Bunyi Pasal 66A ayat (1) adalah "Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal".
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan sempat menanyakan masalah ini. Sebab, kalau permohonan ini dikabulkan, berarti tak ada dasar hukum lagi. Seluruh provinsi baik yang memiliki pabrik rokok maupun yang tidak memiliki sama-sama tidak bisa lagi mendapat dana cukai hasil tembakau. "Bukannya malah tambah merugikan?"
Andy Hadiyanto mengakui langkah yang ditempuh kliennya, dengan maksud agar terjadi ‘kekosongan hukum'. Setelah dasar hukum itu hilang, ia berharap pemerintah akan membuat aturan yang lebih adil lagi. Khususnya, terhadap provinsi penghasil tembakau seperti NTB. "Saya yakin pemerintah akan berpihak kepada petani tembakau. Rakyat kecil," tuturnya.
Selama ini, Andy menduga pemerintah masih ragu untuk memberikan dana cukai hasil tembakau ke provinsi penghasil tembakau. Hal tersebut disebabkan Pasal 66A ayat (1) yang masih multitafsir. Selain itu, Andy juga memberi opsi damai kepada pemerintah. "Bila Pemerintah (Menteri Keuangan) setuju memberikan dana cukai hasil tembakau ke provinsi penghasil tembakau, maka permohonan ini akan kami hentikan," janjinya.
Andy mengaku masih akan menunggu keterangan Sri Mulyani yang sempat tertunda hari ini. Sedianya Sri Mulyani dijadwalkan ulang memberikan keterangan pada sidang selanjutnya. Kita tunggu saja bagaimana nasib perkara ini.