“Bagus-bagus saja konsep itu. Tapi apakah bisa dilaksanakan, kalau wapresnya teknokrat, tidak punya dukungan partai,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rulli Chaerul Azwar, di DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Selasa (10/2).
Menurut Rulli, dalam politik di Indonesia, suatu pemerintahan harus mendapatkan dukungan kuat partai politik di DPR. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan nanti tidak mengalami gangguan terkait kebijakan pemerintah yang ditolak DPR.
“Kalau dukungannya melemah di DPR pemerintah dikhawatirkan akan bekerja tidak efektif,” ucapnya.
Berbeda jika wapresnya berasal dari partai politik. Karena yang diharapkan dalam berkoalisi nantinya adalah berdasarkan banyaknya jumlah kursi, bukan berdasarkan banyaknya parpol. Namun karena jumlah parpol peserta pemilu banyak, membuat suara atau dukungan akan tersebar.
Dari Golkar, PDIP dan Partai Demokrat, lanjut Rulli, hanya Golkar dan PDIP yang besar. “Selebihnya, empat atau lima partai harus ngumpulin partai-partai lainnya untuk ngumpulin dukungan hingga 50% suara di DPR. Sedangkan Golkar bisa ke kiri dan kanan,”; bebernya.
Meski begitu, dia tidak menutup berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam politik. Termasuk duet SBY-Sri Mulyani untuk mencari yang terbaik dalam pemerintahan. Namun, untuk posisi wapres tidak hanya didasarkan pada kompetensi terbaik, tapi juga harus mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen.
“Karenanya, bagi Golkar, capres dan cawapres harus berpikir untuk lima tahun ke depan. Apalagi desain koalisinya untuk membentuk pemerintahan dan legisltaif yang kuat,” cetusnya.