Ceritanya berawal dari suara sisa PKB. Berdasarkan ketentuan Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009, semua sisa suara di setiap dapil ditarik ke tingkat provinsi untuk digabung dan dihitung ulang. Atas perhitungan gabungan sisa suara ini, PKB dinyatakan mendapat satu kursi tambahan DPR. Kursi itu diberikan ke caleg PKB Dapil III Jabar Otong Abdurrohman.
Helmy protes. Ia merasa lebih berhak dibanding Otong. Pasalnya, suara yang dimiliki Helmy lebih banyak daripada suara milik Otong. "Kalau menggunakan sistem suara terbanyak harusnya kursi itu untuk saya. Bukan untuk Otong," ujar Helmy di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (11/5). Helmy memperoleh 35.004 suara, sedangkan Otong hanya memperoleh 7.133 suara.
Bila dilihat dari jumlahnya, Helmy memang memperoleh suara lebih banyak dari Otong. Namun, di Dapil Helmy sudah tidak ada lagi kursi yang tersisa. Delapan kursi yang ada di dapil itu telah habis dialokasikan kepada para caleg. Sedangkan, di dapil Otong masih ada satu kursi sisa. Itulah yang menjadi alasan KPU memberikan kursi terakhir PKB di provinsi Jabar itu ke Otong.
Helmy menilai bila penghitungannya seperti itu berarti KPU telah mengkhianati sistem suara terbanyak. Ia mengatakan meski kursi di dapilnya tak ada sisa, bukan alasan memberikan kursi terakhir PKB itu ke caleg PKB yang memiliki suara lebih rendah. "Saya kan bisa mengisi kursi di dapil III," tuturnya. Artinya, Helmy meminta agar ia memperoleh kursi dari dapil yang bukan berasal dari dapilnya.
Kuasa Hukum Helmy, M Sholeh menambahkan permintaan kliennya itu merupakan suatu hal yang wajar. Ia mengatakan 35.004 orang yang memilih Helmy harus dihormati. Ia mengatakan bila permohonan ini dikabulkan, memang Helmy akan mewakili dapil lain, namun menurut Sholeh hal ini lebih tepat dibanding memberikan suara rakyat milik Helmy kepada caleg lain.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai penggunaan sisa suara yang ditetapkan KPU sudah sesuai Undang-Undang. "Yang bisa dialihkan adalah suara, bukan kursi," ujarnya kepada wartawan melalui sambungan telepon. Lagipula, pengalokasian sisa kursi memang ditujukan kepada dapil yang masih memiliki sisa kursi.
Persoalan ini memang bisa terselesaikan bila membaca ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009. Pasal itu berbunyi ‘Pengalokasian sisa kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 angka 7 dan angka 8, ditentukan sebagai berikut: Dialokasikan untuk daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi'.
Sekretaris Jenderal (Sekjend) MK Janedjri M Gaffar mengatakan konflik antar caleg dalam satu parpol bisa saja dibawa ke MK. Asalkan persyaratan dalam hukum acara dipenuhi. Seperti yang digugat adalah Keputusan KPU dan caleg yang menggugat harus mengantongi surat dari Ketua Umum dan Sekjen Parpol yang bersangkutan. Mengenai hasilnya, Janedjri menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim konstitusi. "Biarkan majelis hakim yang memutus," pungkasnya.