Walaupun masih belum jelas dan salah pelafalannya, ketika kata pertama itu terdengar, bahagia dan legalah hati ibu. Sebab, hal itu bisa dijadikan salah satu pertanda bahwa anaknya tidak mengalami keterlambatan bicara (speech delayed).
Beragam reaksi orang tua ketika mendengar kata pertama si kecil. Model dan presenter Arzeti Bilbina Setyawan, juga memiliki pengalaman unik tentang kata pertama yang diucapkan putra sulungnya, Bagas Wicaksono Rahadi Setyawan, 4 tahun. Zee (panggilan akrab Arzeti) mengatakan bahwa kata pertama yang diucapkan Bagas pada usia 7 bulan adalah "njee...', maksudnya adalah "nggih" (bahasa Jawa yang artinya "iya").
"Omanya Bagas itu kan orang Jogja dan bahasa Jawanya halus. Jadi kalau di rumah sering ngomong 'njih' (nggih). Ternyata Bagas menirukan dengan bilang 'njee...', tapi yang dia maksud itu diaplikasikan sebagai enggak (tidak). Misalkan waktu diberi minum susu, dia menolak dengan mengatakan 'njee...' tadi," tuturnya.
Psikolog anak dari Medicare Clinic, Anna Surti Ariani Psi, mengungkapkan, kata-kata yang sering didengar bayi atau sering diucapkan orang tuanya sewaktu mengajak dia "bicara" memang berpotensi lebih besar untuk menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi.
"Selain itu, kata tersebut juga mudah bagi dia. Misalnya kata "bapak" itu kan konsonan bilabial (dihasilkan dengan menyempitkan kedua bibir, misal fonem [b], [p], dan [m]), jadi cocok diajarkan kepada anak yang sedang belajar bubling atau mengoceh. Dengan begitu nantinya kata itulah yang keluar," ujar ibu dua putra-putri ini.
Pada umumnya, kata-kata yang mengandung fonem vokal [a] seperti "papa" atau "mama" memang lebih sering menjadi kata pertama si bayi. Selain faktor kekerapan dan unsur kedekatan anak dengan orang tua, fonem vokal [a] secara artikulasi juga lebih mudah diucapkan (tinggal membuka mulut saja). ina mencontohkan, kata pertama yang diucapkan putrinya pada usia 11 bulan adalah "apel".
"Pada usia tersebut bayi kan sudah mulai 'cerewet'. Jadi mulai saya kasih tebak-tebakan seperti 'a...pel' dan dia senang banget," kata wanita yang akrab disapa Nina.
Untuk membantu perkembangan bahasa si kecil, Nina menyarankan orang tua sering mengajak bayi bicara, bahkan sewaktu bayi masih dalam kandungan. "Saat menyusui atau memandikan juga bisa sambil komunikasi. Hal seperti itu walaupun mungkin belum dimengerti, tapi akan dia simpan di otaknya dan pada saatnya nanti akan keluar juga," tuturnya.
Lebih lanjut Nina mengatakan, ketika anak mulai bisa berkata-kata, maka dia harus didorong dan dirangsang agar tidak malas bicara, contohnya ketika anak minta sebotol susu. "Awalnya mungkin dia hanya menunjuk dan bisa langsung dapat. Begitu dia mulai bisa bicara, kalau cuma menunjuk saja jangan langsung dikasih, tapi ibu bilang dulu "ini susu". Kemudian kalau si anak mulai ada usaha bilang 'cu...' misalnya, baru ibu kasih susunya," papar Nina seraya mengatakan bahwa pemberian stimulasi melalui dongeng, mengajak mengobrol dan bercerita juga sangat penting untuk perkembangan bahasa si kecil.
Dalam hal ini, komunikasi aktif dengan si buah hati sangat penting dilakukan. Sebab untuk bisa bicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan kata yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua mengajaknya bicara.
"Kalau anak jarang sekali diajak mengobrol, maka kata-kata yang dia dapat sangat minim sehingga nantinya yang keluar juga minim. Hal tersebut bisa menjadi salah satu penyebab keterlambatan bicara," kata Nina.
Selain kurang stimulus, lanjut Nina, faktor medis seperti ketidakmatangan otot-otot bicara, sumbing, dan gangguan tertentu seperti autis juga bisa menjadi penyebab anak sulit berbahasa. Atau bisa jadi karena si anak terlalu dimanja. "Sekarang ini kan banyak anak yang seperti robot, tinggal tunjuk saja semuanya dia dapat. Akibatnya, si anak menjadi malas dan tidak merasa perlu untuk bicara atau buka suara," tuturnya.
Menurut Nina, kurangnya sosialisasi belum tentu berpengaruh pada perkembangan bicara. Misalkan si anak terbiasa main di rumah hanya dengan dia, ibu atau pengasuhnya saja, tapi kalau si ibu atau pengasuhnya cukup "cerewet" mengajak anak bicara, maka perkembangan bahasanya tidak akan terhambat. "Artinya, secara sosialisasi mungkin dia kurang, tapi perkembangan bahasanya bagus. Namun, sebaiknya keduanya terpenuhi," saran Nina.
Pemberian stimulus untuk melatih perkembangan bahasa bayi juga bisa dilakukan melalui berbagai jenis permainan. Misalkan mainan atau benda-benda yang ada bunyi atau kata-katanya seperti jam weker yang alarmnya mengeluarkan suara "good morning... good morning!", atau jenis mainan yang kalau dipencet keluar lagu-lagu tertentu. Selain itu, tontonan televisi yang materinya bagus serta buku-buku cerita bersuara, juga bisa dijadikan alternatif yang mendidik.