Cuplik.Com - JAKARTA: Menteri Keuangan (Menkeu) yang juga pelaksana jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengatakan,posisi utang Indonesia sampai saat ini masih dalam batas aman.
Kendati demikian, pemerintah tetap harus berhati-hati, terutama untuk pinjaman berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS), karena pergerakan nilai tukar global saat ini belum stabil.“Rasio utang saat ini 30% dari produk domestik bruto (PDB) tidak dalam batas mengkhawatirkan,” katanya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta kemarin.
Porsi utang luar negeri dari besaran tersebut,menurut Menkeu, kurang dari separuhnya. Dia menuturkan, rasio utang Indonesia saat ini tidak akan membuat bangkrut negara dan besarannya pun masih lebih kecil dibandingkan beberapa negara lain. Jepang, misalnya,mencatat rasio utang hingga 150% terhadap PDB dan tidak membuat perekonomian negara tersebut bangkrut.
Sri Mulyani mengungkapkan, rasio utang Indonesia saat ini merosot drastis dibandingkan 2001 lalu yang mencapai 70% dari PDB. Hal ini seiring terus meningkatnya PDB nasional dari Rp166 triliun pada 2001 lalu menjadi Rp2.295 triliun di 2004 dan melonjak kembali di 2008 ke posisi Rp2.648 triliun.
Peningkatan PDB ini mengompensasi tren peningkatan utang pemerintah setiap tahunnya.Sri Mulyani menyebutkan, posisi utang Indonesia berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008 mencapai USD149,47 miliar atau naik USD8,61 miliar dari stok pinjaman 2004 sebesar USD139,86 miliar. Adapun pada 2001 lalu,total utang negara hanya USD121,95 miliar.
Dengan demikian, Sri Mulyani menuturkan, selama periode 2001–2004 terjadi peningkatan stok utang USD17,81 miliar. Perempuan yang kerap menggunakan batik ini mengatakan, sejak krisis moneter 1998 silam,bangsa Indonesia menganggap utang sebagai suatu traumatik.
Segala upaya pemerintah dalam berutang sering dipandang negatif dan dianggap membebani anggaran. Anggota Komisi XI DPR Yunus Yospiah mengkritisi pembengkakan utang pemerintah yang tidak diiringi sikap transparansi. Dia juga mempertanyakan manajemen utang tersebut oleh pemerintah. “Kita tidak tahu baik atau buruk karena informasi utang tidak transparan,” ujarnya.
Sri Mulyani menampik tanggapan ini dan mengatakan, transparansi utang negara sudah jauh lebih baik dibandingkan zaman Orde Baru lalu.Ketika itu,ujarnya, pemerintah menutup informasi soal muasal utang dan alokasinya. Adapun mengenai pengelolaan utang,Menkeu mengatakan,pemerintah selalu siap bila harus diperiksa.“ Dan yang bisa bilang bagus atautidakbukankami,tetapilembaga independen yang bisa secara kredibel me-rating,”paparnya.
Namun dia memandang manajemen utang saat ini sudah lebih tertib.Periode lalu, masih banyak proyek yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi setelah diketok ternyata tidak siap dieksekusi. Saat ini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah memastikan, hanya proyek siap eksekusi yang bisa masuk APBN.
Sri Mulyani lebih lanjut mengatakan, pemerintahan sekarang ikut menanggung beban utang masa Orde Baru yang banyak jatuh tempo pada 2009 ini hingga beberapa tahun ke depan. Pinjaman masa Orde Baru dengan tenor 25–30 tahun banyak yang mulai jatuh tempo dan ditambah utang rekapitalisasi bank-bank waktu krisis moneter 1998 lalu.
“Jangan lupakan utang-utang ini,”ujarnya. Tambahan pinjaman masa lalu itu, dia melanjutkan, menambah beban utang pemerintah saat ini. Menurut Menkeu, cukup banyak utang periode 1980–1990-an yang akan jatuh tempo tahun ini. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto mengatakan, pinjaman luar negeri yang jatuh tempo tahun ini sekitar Rp60 triliun.
“Ada yang berasal dari utang 20 tahun lalu,”katanya. Sementara Surat Utang Negara (SUN) yang masa tenggat pembayarannya habis tahun ini mencapai Rp40 triliun.Rahmat mengatakan, masa jatuh tempo SUN tersebut beragam. “Ada yang 10 tahun lalu,” katanya. (meutia rahmi)