Sejak 12 Januari lalu, Departemen Hukum dan HAM memang sudah kembali mengoperasikan situs www.sisminbakum.com. Dalam waktu dekat, alamat situs rencananya akan diganti menjadi www.ppbh.go.id. Sepintas tidak ada yang berbeda dari sisminbakum saat dikelola PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Perbedaan yang mencolok terletak pada urusan pembayaran biaya pembuatan akta perusahaan saja yang kini menggunakan rekening milik Perum Percetakan Negara RI.
"Kami tidak berhubungan dengan SRD," kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta.
Menurut Andi, pihalnya sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung perihal pengoperasian kembali ini. Dan Kejagung sudah menyerahkan peralatan itu kepada Depkumham untuk dioperasikan dan melayani publik. Karena itu, ia mengaku tidak ambil pusing dengan somasi dari PT SRD yang meminta tidak menggunakan perangkat sisminbakum.
Ketua Tim Restrukturisasi Pengelolaan Sisminbakum Fredy Haris menambahkan program PPBH tidak sama dengan program saat bekerja sama dengan PT SRD. "Ya kita develop program baru," jawabnya.
Ia menjelaskan operasional Sisminbakum baru ini menggunakan server Depkum HAM dan database pemerintah. Namun, beberapa alat yang dulu digunakan bersama PT SRD masih dipakai. "Saya tidak tahu asal dana untuk pengadaan program Sisminbakum ini. Bagi tim restrukturisasi, yang terpenting adalah pelayanan publik," tegasnya.
Aset perusahaannya dipakai, PT SRD pun melawan. Setelah somasi pertama tidak ditanggapi, PT SRD pun melayangkan somasi kedua. "Kita akan menghimbau agar alat - alat kita jangan digunakan lagi. Kalau tidak mendapat respon kita akan melakukan upaya hukum," cetus pengacara PT SRD Andi Simangungsong kepada INILAH.COM.
Dirinya juga menyayangkan adanya 'pembajakan' terhadap 5 karyawan PT SRD oleh Depkum dan HAM. Sekadar diketahui, 5 karyawan termasuk teknisi PT SRD kini dipekerjakan Depkum untuk ikut mengelola layanan PPBH. "Seharusnya tidak boleh melakukan pembajakan seperti itu," keluh Andi.
Pengacara PT SRD lainnya, Hotma Sitompul, menambahkan digunakannya aset PT SRD menunjukkan Depkum telah melakukan 'nasionalisasi' terhadap aset swasta nasional. "Jangan mengambil barang orang seenaknya dengan alasan kepentingan nasional. Alat kita seolah-olah jadi milik pemerintah," tegas Hotma.
"Apa pun namanya, yang dilakukan mereka adalah bentuk pembajakan. Tindakan mereka salah mengambil duit dengan mengunakan alat orang lain," ujar Hotma.
Ia menyayangkan software sisminbakum milik PT SRD masih terus dijalankan padahal sudah disita Kejagung, "Alat kita digunakan mereka untuk mengutip tarif akses, kita merasa dirampas walaupun sudah berganti nama mereka masih menggunakan alat kita," tandas Hotma.
Mengenai pernyataan Menkum HAM Andi Mattalata yang mengatakan somasi PT SRD salah alamat, Andi menganggap pernyataan tersebut merupakan omong kosong belaka. Sebab, sampai saat ini Depkum tidak bisa memperlihatkan izin dari kejaksaan dalam pengunaan perangkat Sisminbakum. "Itu nonsense. Katanya mereka punya izin dari kejaksaan, tapi mereka tidak bisa melihatkan bukti tersebut, kejaksaan hanya menitipkan barang bukti tapi kenapa mereka masih menggunakanya," tukas Andi.
Pelayanan publik memang tidak boleh terganggu dengan ada masalah hukum. Tetapi bukan berarti pemerintah dapat juga seenaknya menggunakan aset milik swasta yang kini berstatus barang bukti sitaan. Apalagi, rekening yang digunakan juga tidak serta merta masuk ke kas negara melainkan 'mampir' terlebih dahulu ke rekening BUMN.
Sudah semestinya pemerintah dalam hal ini Depkum dan HAM lebih berhati-hati mengenai polemik Sisminbakum. Jangan sampai kasus ini justru menjadi preseden buruk bagi pengusaha nasional kita. Karena bukan tidak mungkin kecemburuan dan pertanyaan miring akan muncul. Mengapa pemerintah hanya berani melakukan 'nasionalisasi' terhadap perusahaan nasional saja sementara tidak berani melawan perusahaan asing?[L4].