Cuplik.Com - Jakarta – Capres incumbent dari Partai Demokrat, SBY, dipastikan akan berpasangan dengan Boediono. Bila kelak memenangkan Pilpres 2009, duet ini diyakini aman selama lima tahun pemerintahan ke depan. Namun pilihan aman belum tentu nyaman.
Memilih Boediono jelas telah dipertimbangkan secara matang oleh SBY dan Partai Demokrat, meski faktanya telah menyakiti banyak pihak. Karena, sebelumnya, SBY maupun Partai Demokrat seperti mengumbar tiket calon wakil presiden kepada semua peserta koalisi Cikeas.
Tak hanya peserta koalisi, tokoh masyarakat yang disebut-sebut masuk kantong SBY juga tak kalah perih dibandingkan perasaan partai politik peserta koalisi. Sebut saja nama Jimly Ashhiddiqie dan Din Syamsuddin, yang juga masuk kantong SBY sebagai kandidat cawapres.
Namun, jatuhnya pilihan cawapres SBY pada Boediono seperti mengagetkan banyak pihak, terutama pihak yang terlibat dalam koalisi mendukung SBY serta pihak-pihak yang telanjur dibuat gede rasa (geer) oleh SBY. Apalagi lima kriteria cawapres yang disampaikan SBY, tak sepenuhnya dimiliki Boediono. Khususnya kategori ‘mampu meningkatkan kekokohan serta efektivitas pemerintahan’.
Di poin ini sepertinya SBY dan Partai Demokrat terpaku pada angka kalkulasi peserta koalisi di Blok Ciekas. Memang, jika diakumulasi total partai politik peserta koalisi pendukung SBY Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB, setidaknya dapat menguasai 50% lebih kursi parlemen atau sebanyak 314 kursi.
SBY dan Partai Demokrat sepertinya melupakan relasi parlemen dan eksekutif selama 2004-2009, terlebih para peserta koalisi. Peristiwa paling ekstrim soal setujunya DPR atas hak angket kenaikan harga BBM pada 2008 lalu. Sejumlah fraksi pendukung pemerintahan membelot dan mendukung hak angket kenaikan BBM.
Saat itu, hanya Partai Golkar dan Partai Demokrat yang menolak hak angket. Kondisi ini menegaskan, kalkulasi dukungan parlemen sama sekali bukan jaminan, keputusan pemerintah mendapat dukungan dari partai di parlemen, sekalipun pendukung pemerintah.
Mengandalkan Partai Demokrat untuk mengatur ritme di parlemen sepertinya sulit . Selain dari sisi pengalaman politik yang belum terpenuhi, banyak anggota parlemen dari Partai Demokrat adalah wajah baru di pentas Senayan. “Partai Demokrat akan kesulitan mengatur ritme parlemen,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Bima Arya Sugiarto. Jika Demokrat tak bisa melakukan peran dinamisasi di parlemen, fungsi Wakil Presiden cukup strategis mengatur ritme parlemen.
Sebagaimana dilakukan Jusuf Kalla selama ini, jika terjadi deadlock dalam pembahasan di parlemen. Tak jarang, JK mengumpulkan petinggi partai untuk mengamankan kebijakan pemerintah. Apakkah Boediono bisa melakukan peran yang dilakukan JK selama ini? Banyak pihak pesimistis atas peran Boediono dalam membangun komunikasi politik. Kondisi ini, sepertinya luput dari kalkulasi politik SBY dan Partai Demokrat.
Harus diakui, pilihan Boediono sebagai cawapres SBY adalah bentuk kepercayaan diri SBY dan Partai Demokrat yang terlalu tinggi. Upaya memilih cawapres dari kalangan partai politik juga langkah paling aman. “Jika memilih kalangan partai dan figur Balita (di bawah lima puluh tahun), SBY seperti memelihra anak macan,” kata peneliti senior LSI Burhanudin Muhtadi. Memilih Booediono sebagai cawapres, jelas membuat SBY dan Partai Demokrat merasa aman.
Namun bila kelak SBY terpilih kembali, akan banyak ketidaknyamanan yang ditemukan oleh SBY dan Partai Demokrat dalam meutar roda pemerintahan. Protes partai peserta koalisi atas pilihan Boediono sekarang ini adalah isyarat awal ketidaknyamanan itu.