Cuplik.Com - Jakarta: Tak dinyana, begitu banyak figur politisi yang menderita 'sesak napas' dan berkorban perasaan gara-gara keputusan SBY memilih Boediono sebagai cawapres. Mereka adalah para politisi yang sempat diberi harapan untuk bersanding dengan SBY, tapi kenyataannya tidak dipakai sama sekali.
Dari Partai Golkar, sederet nama tokoh yang terpaksa menelan pil pahit itu antara lain Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Sultan Hamengku Buwono, Akbar Tanjung, dan tentu saja Jusuf Kalla. Nama yang terakhir ini malah melejit menjadi capres Golkar untuk berduel dengan SBY, sang incumbent.Dari PKS, ada nama Hidayat Nur Wahid dan Tifatul Sembiring, sementara dari PAN ada Hatta Rajasa. Dari PKB ada Muhaimin Iskandar. Dari kalangan profesional ada Jimly Asshidiqie dan Sri Mulyani.
Semua figur itu sempat dihembuskan ke ruang publik bakal jadi cawapres SBY dan dikejar-kejar wartawan, sampai harus berlari sambil memegang celana atau roknya. Bahkan sebagian sudah gede rasa (ge-er) segala. Walah. Eh, tak tahunya semua nama itu mental dari Tim Sembilan Partai Demokrat.Nama yang masuk justru Boediono, figur yang datang belakangan, meski menuai kritik tajam dari PKS, PAN, PKB dan PPP yang tergabung dalam koalisi Blok Cikeas.
Direktur Lembaga Survei Nasional (LSN), Umar S Bakry, mengibaratkan duet SBY-Boediono sebagai sebuah perkawinan tanpa restu. Perkawinan mereka memang relatif mulus dan tanpa diketahui banyak pihak. Meski begitu, perkawinan mereka bukan tanpa penentangan. Alotnya 'restu' dari PKS, PAN, dan PPP, dianggap sebagai penolakan perkawinan mereka. "SBY-Boediono itu kawin tanpa restu dan persetujuan," imbuh Umar.
Sejauh ini, keempat partai berbasis massa Islam itu melakukan perlawanan dengan gertak sambal. Memang, hingga menjelang deklarasi duet SBY-Boediono di Bandung, Jumat (15/5) malam, partai-partai pendukung Demokrat belum menandatangani kesepakatan koalisi. Tapi mereka itu tak mau keluar dari kubu Cikeas, karena rezeki dan reward-nya sudah jelas. Jadi, mereka masih ada dalam kubu Cikeas, sehingga terkesan ‘galak tapi mau'.
Menurut pengamat politik Yudi Latif, belum ditekennya koalisi oleh PKS dan PAN terjadi karena sikap Demokrat yang arogan. Seolah-olah SBY segala-galanya dan pasti menang lagi. "Jadi Demokrat tidak mempertimbangkan faktor dari partai lain saat memilih cawapresnya," kata Yudi Latif usai memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Wapres Jusuf Kalla di kantor Istana Wapres, Jakarta, Jumat.
Dalam koalisi, tidak ada namanya hak prerogatif. Jika yang terjadi seperti ini, seolah-olah SBY sudah jadi presiden, sehingga yang lain ikut saja. Padahal, koalisi harus dibangun berdasarkan pada kepentingan bersama. Walhasil, deklarasi duet SBY-Boediono yang digelar penuh kemegahan Jumat (15/5) malam tak hanya melahirkan harapan bagi pendukungnya, tapi juga meninggalkan para korban perasaan itu semua. Anda mau mengkritik? Silakan saja!