Fashion week atau pekan mode bukanlah lagi acara bergengsi yang hanya bisa disaksikan di pusat mode dunia macam Paris, Milan, London, maupun New York. Namun, telah menjadi semacam agenda rutin yang harus dimiliki setiap negara. Seperti halnya sebuah acara adat, fashion week pun menjadi ritual yang tidak boleh dilewatkan ma syarakat mode.
Kehadirannya merupakan agenda penting, bahkan menjadi denyut nadi yang menopang kehidupan mode itu sendiri. Di ajang tersebut, desainer menguasai pentas. Memesona dunia dengan koleksi busana memikat. Daya magis rancangan mereka memengaruhi buyer dan fashionista. Tren busana barupun bergulir setiap musim.
Bahkan, di era fast fashion sekarang ini, musim tidak lagi berusia enam bulan. Bukan lagi hanya berkisar pada koleksi spring/summer ataupun fall/winter. Kedua garis besar mode itu semakin tersalip dengan koleksi baru para peritel high street yang mampu merumuskan tren dalam hitungan minggu.
Akibatnya, jadwal pekan mode di berbagai belahan dunia semakin padat. Dua agenda musiman per enam bulan bagi lini busana pria dan wanita, pertunjukan khusus adibusana yang disebut sebagai haute couture, serta pameran koleksi resor serta cruise collection yang dirilis menyambut musim panas.
Ya, di dunia mode, tenggat waktu seolah tidak berhenti berdentang. Ada hal baru selalu disajikan. Para desainer pun dituntut untuk terus berkreasi. Otak kreatif mereka diperas sepanjang tahun. Tidak ada kata berhenti berproduksi meski ide terkadang macet dan inspirasi menemui jalan buntu.
Bagi mereka, ksatria di atas catwalk, seluruh kerja keras tersebut akan terbayar, ketika pujian mengalun dari berbagai media dan pengamat mode. Foto-foto apik koleksi teranyar pun akan segera terpampang di billboard raksasa juga di berbagai media cetak. Tak jarang yang kemudian mendapat ulasan lengkap di program mode jaringan televisi internasional.
Dari fashion week, seluruh keglamoran dunia mode bisa mereka dapatkan. Sebaliknya, lewat perhelatan itu juga, kritik, hujatan, dan komentar negatif bisa beterbangan dari mulut tajam para pengamat. Hal ini tentu berpengaruh besar terhadap tingkat penjualan mereka ke depannya. Demikian pula terhadap integritas mereka sebagai desainer. Singkatnya, bagi para desainer, pekan mode adalah dua sisi mata uang. Memberi kekayaan, juga bisa mendatangkan kerugian.
Apalagi saat ini, pekan mode tidak hanya digelar di Paris ataupun Milan. Hampir setiap negara di dunia memiliki gelaran fashion week masing-masing. Bahkan, negara yang berada jauh di ujung peta dunia, Islandia, memiliki pesta mode reguler di ibu kotanya, Reykjavik. Begitu juga dengan pekan mode di Cyprus dan Zagreb.
Penggagas Australian Fashion Week, Simon Lock, mengatakan saat ini terdapat sedikitnya 50 pekan mode yang dilaksanakan di seluruh dunia dalam rentang waktu satu tahun. "Hal ini tentu membuat agenda buyer semakin padat. Mereka harus menetapkan prioritas," ujarnya.
Karenanya, tidak heran bila negara- negara tersebut terkesan berlomba di liga mode internasional dengan pekan mode masing-masing.
Di Asia, Jepang, India, Dubai, Hong Kong, China, Singapura, Thailand, dan Indonesia ikut berlaga. Australia pun tidak mau kalah dengan terus konsisten menggelar Rosemund Australian Fashion Week dan perhelatan mode lainnya.
Afrika punya pekan mode di Cape Town dan Johannesburg. Amerika meraih pamor lewat New York, Los Angeles, San Francisco, dan Miami. Sementara Eropa tetap mempertahankan kualitas dengan pergelaran reguler Paris, Milan, Roma, Madrid, dan Berlin. Namun, usaha keras masih harus dilakukan setiap negara di kompetisi mode. Sebabnya, hingga kini mahkota masih dipegang empat besar pusat mode dunia, yakni Kota Paris, Milan, London, dan New York.
"Secara umum, Milan selalu diidentikkan dengan karakter tailoring, London dengan gaya eklektik dan avant garde, New York yang minimalis dan simpel, dan Paris yang merupakan pusat adibusana," tutur Lock.
Tak pelak, posisi kelima yang masih kosong pun jadi rebutan. Hong Kong, Dubai, Australia, Tokyo, dan Los Angeles saling kejarmengejar untuk mendudukinya. Bahkan, Singapura kini mulai berlari mengejar posisi melalui Audi Singapore Fashion Festival yang baru debut tahun ini.
Bagaimana dengan Jakarta? Gairah mode Indonesia rupanya baru terbangunkan beberapa tahun belakangan. Geliatnya terasa dengan adanya gelaran pekan mode layaknya Jakarta Fashion Week- Festival Mode Indonesia, ITAF Indonesian Fashion Week, serta Jakarta Fashion and Food Festival yang baru saja berlangsung di Kelapa Gading. Akankah Indonesia bisa menjadi salah satu pusat mode Asia? Hmm...kita lihat saja nanti.