Informasi tentang birokrasi dan tata kelola pemerintahan akan dengan mudah diklaim sebagai rahasia negara. Jika sudah ditentukan sebagai rahasia negara, publik akan kesulitan untuk mengaksesnya. Inilah salah satu bahaya laten yang dikhawatirkan Aliansi karena RUU Rahasia Negara masih memberikan delegasi kepada pimpinan lembaga negara untuk mengatur kerahasiaan di instansi yang dia pimpin. "Klaim rahasia negara dapat dilakukan semena-mena dan subjektif, apalagi yang mengandung kebohongan," kata Agus Sudibyo mewakili Aliansi.
Ditambahkan Agus, klaim rahasia negara sudah sering dijadikan tameng oleh birokrat untuk menutupi sesuatu yang sebenarnya harus dibongkar. Misalnya, dokumen-dokumen yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi. Pejabat cenderung mempersulit publik untuk mengakses dokumen dimaksud demi menjaga privasi pejabat tertentu, dengan mengklaim dokumen tadi sebagai rahasia negara. Itu pula sebabnya, peneliti ICW, Agus Sunaryanto, khawatir RUU Rahasia Negara menjadi bumerang dalam pemberantasan korupsi. "Itu titik balik pemberantasan korupsi," ujarnya di Jakarta, Selasa (19/5).
Kekhawatiran sejumlah lembaga pemerhati yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan juga dirasakan Ifdhal Kasim. Ketua Komnas HAM ini berpendapat RUU Rahasia Negara berpotensi melanggar hak asasi manusia jika terlalu banyak memberikan otoritas penentuan rahasia negara kepada pimpinan badan publik. "Terlalu banyak memberikan otoritas kepada aparat pemerintah untuk menentukan rahasia negara," kata dia.
Kalau pemerintah khawatir terjadi perbuatan pidana membocorkan rahasia negara, kata Ifdhal, aparat penegak hukum masih bisa mengandalkan KUHP dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. "Ancaman hukuman membocorkan rahasia negara dalam KUHP malah tinggi," ujarnya.
Pasal 112 KUH Pidana misalnya mengancam hukuman penjara tujuh tahun kepada siapapun yang "dengan sengaja mengumumkan suatu surat, berita atau keterangan tentang suatu hal yang diketahuinya demi kepentingan negara harus dirahasiakan, atau memberitahukan atau menyerahkannya kepada suatu negara asing". Pasal 113 hingga pasal 120 KUHP juga menyinggung ancaman pidana membocorkan rahasia negara.
Ifdhal mengingatkan, kalau setiap instansi membuat mekanisme sendiri penentuan rahasia negara, selain berpotensi tumpang tindih, pada akhirnya cara seperti itu akan menghambat akses publik mendapatkan informasi. Karena itu, Ifdhal berpendapat RUU Rahasia Negara belum terlalu dibutuhkan.
Senada, Agus Sudibyo meminta Pemerintah dan DPR memperhatikan semangat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam Undang-Undang ini sudah jelas mana saja informasi yang tertutup atau dikecualikan. Kalaupun suatu informasi diperdebatkan sifat kerahasiaannya, tetap perlu penilaian atau assesment, tidak langsung begitu saja dinyatakan sebagai rahasia negara. Kalau semangat memberikan otoritas penuh kepada pejabat publik yang dikedepankan, berarti sama saja menutup ruang publik.
Urgensi RUU Rahasia Negara terus mendapat perhatian. Komisi I DPR diketahui sudah mulai membahas DIM RUU ini dengan Pemerintah, dalam hal ini diwakili Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam rapat dengan Komisi I berharap RUU ini segera disahkan.