‘Virus' keterbukaan informasi publik semakin membekap institusi peradilan. Setelah langkah positif Mahkamah Agung menerbitkan SK KMA No 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, lalu diikuti dengan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kini, pentingnya keterbukaan di pengadilan semakin ditegaskan dalam paket RUU di bidang peradilan, yakni RUU Peradilan Umum, RUU Peradilan Tata Usaha Negara, dan RUU Peradilan Agama.
Dengan redaksional yang sama, ketiga RUU itu mewajibkan pengadilan memberikan akses kepada masyarakat memperoleh informasi terkait putusan dan biaya perkara. Tenggat waktu yang diberikan tujuh hari. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 51A RUU Peradilan TUN, Pasal 52A RUU Peradilan Umum, dan Pasal 64A RUU Peradilan Agama. Lazimnya sebuah kewajiban, di dalamnya juga memuat sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada bagian penjelasan, perundang-undangan dimaksud adalah UU KIP.
Pasal 52 UU KIP menyatakan "Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta". Pasal 57 menegaskan tuntutan pidana berdasarkan Undang-Undang ini merupakan delik aduan dan diajukan melalui peradilan pidana.
Anggota Panitia Khusus DPR Mutammimul Ula menjelaskan ketentuan ini dibuat untuk memaksa lembaga peradilan agar lebih melayani rakyat. Caranya, dengan memberikan akses informasi seputar putusan dan biaya perkara. "Selama ini lembaga-lembaga publik dalam hal ini pengadilan itu seolah-olah tertutup, dan hal ini bertentangan dengan asas-asas good governance. Karena lembaga peradilan termasuk lembaga publik, dia harus menyediakan informasi-informasi kepada publik, itu inti dari substansi Pasal 51A RUU Peradilan TUN," paparnya.
Tujuh hari, menurut Mutammimul, adalah tenggat waktu yang cukup ideal. Ia optimis semua pengadilan seyogyanya mampu memberikan akses informasi kepada masyarakat, dengan syarat manajemen lembaganya memang sudah tertata dengan baik. Masalahnya, kondisi empiris berbicara lain. Hingga kini, manajemen pengadilan masih terkesan amburadul. Makanya, Mutammimul berpendapat pengadilan harus ‘dipaksa' melalui undang-undang dengan menerapkan sanksi apabila tidak dijalankan.
"Kalau manajemennya bagus itu realistis, seperti Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga yang tertib administrasinya baik, itu dia bisa. Tapi kalau manajemen lembaga publik itu seperti sekarang, memang itu agak susah, maka itu dipaksa dengan UU," katanya.
Politisi PKS itu menambahkan walaupun ketentuan ini masih berpa wacana dalam RUU, namun semangat yang ingin didorong adalah bagaimana membentuk good governance dalam lembaga peradilan itu sendiri. "Kalau bisa berlaku untuk semua peradilan, tapi kita lihat lagi nantinya, karena ini baru draft rancangan, tapi semangatnya seperti, tidak hanya berlaku untuk peradilan saja, kan ada UU KIP, itu semuanya berlaku untuk semua birokrasi pelayanan publik, diharapkan begitu," tukasnya.
Bukan hakim
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Aria Suyudi menyambut baik adanya substansi dalam RUU yang mewajibkan pengadilan untuk lebih terbuka kepada masyarakat. Secara khusus, Aria juga memandang penempatan sanksi pidana yang merujuk pada UU KIP adalah metode yang tepat agar kewajiban tersebut benar-benar dijalankan oleh pengadilan. Hanya saja, lanjutnya, sanksi tersebut tidak ditujukan kepada hakim, melainkan panitera.
"Jelas bukan hakim yang kena sanksi, karena yang mengeluarkan putusan itu hakim, begitu selesai ditaruh di paniteraan, hakim aman, karena petugas yang harus membuka akses ini kan bukan hakim, tapi office support-nya yaitu adalah kepaniteraan," ujar Arya.
Dihubungi hukumonline (23/5), Juru Bicara MA Hatta Ali menanggapi dengan tenang. Ia mengatakan ketentuan tersebut masih berupa rancangan, sehingga belum mengikat pengadilan. Prinsipnya, Hatta mengapresiasi setiap upaya mewujudkan transparansi publik di lembaga pengadilan. Namun begitu, ia mengaku pesimis ketentuan itu bisa dijalankan oleh semua lingkungan peradilan.
"Kalau memang banyak perkara itu berat. Kenyataannya, putusan itu kan diketik dulu, belum lagi kalau salah diperbaiki lagi. Nah itu yang makan waktu. Jika itu dilakukan tanpa menggunakan komputer jelas tidak bisa. Berat," Hatta menjelaskan. Ia sepakat dengan pendapat Aria Suyudi bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi hakim, tetapi hanya staf pengadilan. "Kalau pelayanan publik itu kan bukan menyangkut hakim. Itu staf," tandasnya.