Kasus yang baru-baru ini terjadi yakni kasus tewasnya Pipi, seorang pekerja seks komersil pada 18 Mei lalu. Ia tewas setelah menceburkan diri di Sungai Cisadane lantaran dikejar-kejar dan ditakuti Satpol PP kota Tangerang. Selain itu, kasus tewasnya bocah berusia 4 tahun karena tersiram air panas dari gerobak pedagang baso yang tumpah gara-gara ditendang Satpol PP saat penertiban pedagang kaki lima di kawasan WTC Surabaya pada 11 Mei lalu.
Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta, Hermawanto mengatakan, tewasnya Pipi dan bocah 4 tahun adalah akibat operasi Satpol PP yang dijalankan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip HAM. "Terhadap peristiwa itu harus ada yang bertanggung jawab secara hukum, siapapun itu korbannya dan polisi harus memastikan bahwa Satpol PP yang bertanggung jawab atas peristiwa itu," tegas Hermawanto dalam konperensi pers, Senin (25/5) di kantornya.
"Berdasarkan informasi yang diterima sebelum tewas, Pipi sempat dilempari batu saat di sungai, meski Pemkot Kota Tangerang mengatakan tak ada pelemparan batu, tetapi ada saksi yang mengatakan pelemparan batu benar-benar terjadi. Pipi yang akhirnya menceburkan diri ke sungai menurut Pemkot Tangerang itu merupakan hal biasa dilakukan para WTS untuk melarikan diri dari kejaran Satpol PP, sebenarnya keterangan itu justru menjadi sebab utama Pipi meninggal dunia," ungkapnya.
Meski demikian Hermawanto berharap dua peristiwa itu merupakan peristiwa terakhir dan Satpol PP akan mengalami perubahan yang lebih baik. Selanjutnya, LBH Jakarta hari ini akan mempertanyakan kepada Polres Tangerang terkait penanganan kasus ini. "Kabar terakhir sudah 5 orang saksi yang diperiksa," jelasnya.
Regulasi dan institusional
Sementara itu Kepala Litbang LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, menambahkan bahwa tindakan yang ajeg dilakukan Satpol PP tak hanya terjadi dalam dua peristiwa itu, tetapi hampir merata di seluruh daerah. Menurutnya ada problem struktural yang mendasari peristiwa itu yakni persoalan regulasi dan institusional.
Ketentuan yang mengatur Satpol PP terdapat dalam Pasal 148 dan 149 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU itu, Satpol PP berfungsi sebagai penegak hukum untuk peraturan daerah (Perda) dan dapat berfungsi sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Meski kewenangan sebagai PPNS bagi Satpol dibatasi, menurutnya kewenangan itu justru menjadi peluang terjadinya penyalahgunaan dan tindakan melawan hukum.
"Jadi implementasi sebagai PPNS ini ditopang dengan sangat lemahnya pendidikan dan pengetahuan sebagai penyidik berakumulasi terjadinya kesalahan, misalnya dalam prosedur penangkapan dalam kasus Pipi ini. Sebenarnya dalam Perda di banyak daerah meski sebagai PPNS, dia (Satpol PP, red) tak berwenang melakukan penangkapan dan penahanan, seperti dalam Perda DKI tentang Ketertiban Umum dan Perda Kependudukan. Tetapi implementasinya justru Satpol PP melakukan praktek-praktek penangkapan dan penahanan," jelasnya.
Praktek seperti itu, diperparah dengan keluarnya PP No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satpol PP dan Permendagri No. 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap (Protap) Operasional Satpol PP. Sebab, Satpol PP dalam lingkup nasional sebenarnya di bawah Depdagri, tetapi secara institusional berada di bawah Pemda. "Ini menyulitkan pola yang berkembang dalam menyelesaikan suatu problem di suatu daerah," jelasnya.
Meski Protap mewajibkan setiap tindakan Satpol PP harus menghormati HAM, lanjut Nurkholis, namun fakta berbicara lain. Amat jarang Satpol PP yang memahami prinsip-prinsip dasar HAM dan implementasinya. "Permendagri No. 26 Tahun 2005 tak sensitif gender dan jauh standar human right," tukasnya. Selain itu, ada klausul yang memperbolehkan Satpol PP menggunakan senjata api. Hal ini, berpeluang munculnya praktek kekerasan saat Satpol PP beroperasi di lapangan.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah untuk segera merevisi berbagai peraturan yang terkait dengan Protap Satpol PP. Jika tidak, Nurkholis memperkirakan tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP atas nama penegakkan Perda akan terus terjadi. "Ini diletakkan pada reformasi sektor keamanan dimana Satpol PP ini aktor terakhir yang kurang mendapat perhatian. Jadi nantinya mesti ada code of conduct yang memberikan guide terhadap Satpol PP untuk bertindak berdasarkan standar HAM atau minimal menghormati KUHAP," imbuhnya.