Penuntut umum diketuai Fadil Zuhmana menilai eksepsi atau keberatan tim penasihat hukum mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita, telah memasuki pokok perkara. Kedudukan terdakwa dalam surat surat dakwaan, kata Fadil, adalah bersifat alternatif.
Pandangan tersebut merupakan bagian dari tanggapan jaksa atas eksepsi yang diajukan tim penasihat hukum Romli sebelumnya. Tanggapan itu dibacakan dalam sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan (25/5) dipimpin ketua majelis Syahrial Sidik. Dalam tanggapannya penuntut umum menilai terdakwa Romli merupakan pembuat delik (dader), yakni sebagai yang melakukan atau turut serta melakukan sebagaimana diatur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Perbuatan ‘melakukan' atau ‘urut serta melakukan', kata jaksa, termasuk ke dalam ajaran penyertaan.
Lebih lanjut dijelaskan Fadil, dalam teori penyertaan, ada beberapa subjek yang terlibat. Ada pelaku utama dan ada orang yang hanya turut serta melakukan. Dalam konteks kasus dugaan korupsi Sistem Informasi Badan Hukum, untuk mengetahui kedudukan terdakwa Romli -apakah pelaku atau turut serta melakukan -- bisa dilihat pada tahap pembuktian. Menurut Fadil, eksepsi semacam itu sudah memasuki pokok perkara, dan harus ditepis majelis. "Keberatan terdakwa ini sudah memasuki pokok perkara," tegas Fadil di persidangan.
Pekan lalu, kuasa hukum terdakwa menuding penuntut umum telah mencampuradukan antara terdakwa dengan saksi-saksi. Atas tudingan itu, JPU membantah keras. "Anggapan yang tidak benar," tegas Fadil. Menurutnya, penyebutan terdakwa dan saksi-saksi dalam surat dakwaan adalah hasil dari penyidikan yang diperoleh penuntut umum. JPU justru menuding balik terdakwa. Menurutnya, justru terdakwalah yang telah mencampuradukan antara hukum materiil dengan hukum formil.
Dalam surat dakwaan telah disebutkan bahwa selain terdakwa juga terdapat pelaku atau pelaku peserta lain. Yakni Ali Amran Djanah, Yohanes Woworuntu, Hartono Tanoesoedibjo dan Yusril Ihza Mahendra. Menurut tim JPU keempat orang selain terdakwa mempunyai kedudukan sama dalam ajaran penyertaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Artinya, sambung Fadil, delik dalam perkara ini terwujud karena ada perbuatan materiil dari kelima orang tersebut. "Dengan demikian, penyebutan terdakwa sebagai yang melakukan atau turut serta melakukan dalam surat dakwaan telah jelas dan tidak kabur," tegasnya.
Selain itu, dalam eksepsinya penasihat hukum terdakwa juga menuding error in persona dalam surat dakwaan. Tim JPU menangkis hal itu. Menurut tim JPU, pemberlakuan Sisminbakum atas keputusan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Namun menurut penilaian JPU, Sisminbakum tidaklah salah. "Sisminbakum akan salah ketika diberlakukan tarif yang melebihi dari yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,"cetus Fadil. Tertuang dalam surat dakwaan, terdakwa selaku Dirjen AHU telah memberlakukan tarif yang melebihi ketentuan dengan memberlakukan perjanjian kerjasama antara Koperasi Pengayoman dengan SRD.
Dalam tanggapanya, Fadil menuturkan bahwa penerapan Pasal 51 KUHP tidak berlaku juga tidak memenuhi syarat untuk diterapkan terhadap terdakwa. "Atau dengan kata lain, terdakwa dalam perkara ini tidak dapat berlindung dengan dalih hanya melaksanakan perintah jabatan dari atasan," tegasnya. JPU menilai, peran Yusril selaku atasan Romli adalah turut bertanggung jawab selaku pelaku peserta. Akan tetapi, tidak serta merta peran terdakwa selaku Dirjen AHUmenghilangkan tanggung jawab dalam perkara Sisminbakum.
Pesoalan status Yusril dan Hartono yang masih sebatas saksi, baik Romli maupun kuasa hukumnya kerap menanyakan. Begitupun saat pembacaan eksepsi pekan lalu (18/5). "Apakah kemudian masing-maing orang selain terdakwa belum menjadi tersangka atau tidak, hal ini persoalan lain yang terpiasah dari ajaran penyertaan, melainkan domain hukum acara pidana," imbuh Fadil.
Tidak hanya itu, kuasa hukum terdakwa juga menuding ketentuan pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah ketentuan pidana tentang permufakatan jahat. Namun kuasa hukum terdakwa menilai uraian dakwaan merupakan tindak pidana yang telah selesai dan bukan tindak pidana permukatan. Atas tudingan itu, JPU pun menagkis kembali. Menurut tim JPU, penasihat hukum terdakwa memandang delik permufakatan jahat tidak dipandang sebagai delik selesai.
JPU menilai pandangan penasihat hukum tidak komprehensif dalam memahami ketentuan Pasal 15 UU 31/99. JPU justru bertanya balik. "Lantas apa bedanya dengan percobaan melakukan tindak pidana ex Pasal 53 KUHP yang sebagian ahli memandang sebagai delik tidak selesai yang juga diakomodir oleh Pasal 15 UU 31/99," katanya.
Dalam tanggapannya, JPU menilai permufakatan jahat dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana bila delik yang dimufakati tealh terwujud. "Atau sebaliknya permufakatan jahat untuk melakukan korupsi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila korupsi itu tidak terjadi lagi," imbuhnya. Dengan demikian, JPU berkesimpulan perbuatan terdakwa dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan permufakatan jahat untuk melakukan korupsi yang telah terjadi. Sehingga, tambah Fadil, terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Usai persidangan, Romli menuturkan JPU tidak membeberkan secara gamblang perbedaan peran dan tanggung jawab Yusril dan Hartono dalam status mereka sebagai saksi dibanding Romli sebagai tersangka. Artinya, kata Romli, dengan peran dan tanggung jawab yang sama, seharusnya status keduanya pun sama-sama sebagai tersangka.
Sebelumnya, Jampidsus Marwan Effendi pada Rabu (20/5) menyampaikan perubahan status Yusril dan Hartono dari saksi menjadi saksi yang terlibat. Status semacam itu dikritik Romli karena sepengetahuan dia tidak ada terminologi hukum ‘saksi terlibat'. "Di doktrin teori hukum pidana tak ada istilah saksi yang terlibat perkara pidana. Saksi ya saksi, tersangka ya tersangka. Dalam KUHAP ada persyaratan-persyaratannya," pungkasnya.