Dari 3 bakal calon presiden, hanya dua capres saja yang memiliki tim sukses yang berstatus menteri. Bahkan, pejabat publik itu memegang posisi penting, ketua tim sukses. Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa untuk SBY dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris untuk duet JK-Wiranto.
Sederet menteri lain juga mengekor di belakang tim SBY. Mereka antara lain Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Menkominfo M Nuh.
Capres Megawati Soekarnoputri pun cukup berteriak keras melihat kondisi ini. Mantan presiden itu meminta menteri tidak menjadi tim sukses capres. "Ini memang menjadi pengamatan saya. Kabinet itu adalah tim kerja pemerintah di bawah suatu sistem presidensil. Maka seharusnya ketika pemilu, tim sukses itu tidak boleh datang dari kabinet," usul Mega.
Dirinya berdalih, bila menteri menjadi tim sukses capres, maka akan mengurangi efektivitas kinerja kabinet. Maka itu bila terpilih menjadi presiden, maka dirinya tidak akan membolehkan menterinya menjadi tim sukses. "Pimpinan nasional bersama pembantunya tidak bisa lagi hanya memikirkan pilpres. Karena itu akan membuat kinerja pemerintahan tidak maksimal," tegas Ketua Umum PDIP ini.
Kondisi berulang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan era Pemilu 2004. Kala itu, Mega sebagai incumbent juga berlaku hal yang sama. Sejumlah menteri juga terlibat dalam tim sukses Mega antara lain Menneg BUMN Laksamana Sukardi, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, Menperindag Rini MS Suwandi dan Menteri Kehutanan M Prakosa.
Badan Pengawas Pemilu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa terkait hal ini. Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahyo Widodo hanya berujar, bila menjadi juru kampanye maka sang menteri barulah diwajibkan mengajukan cuti. "Boleh saja mereka kan warga negara juga, asalkan harus mengajukan cuti," jelas dia.
Meski, lanjut dia, hal itu memang akan mengganggu jalannya kabinet. "Perlu diingat efektivitas pemerintahan pastinya kalau menterinya cuti di pemerintah ada gangguan. Jadi Presidenlah yang nantinya bertanggung jawab dalam memberikan izinnya," ujar Bambang.
Karena itu, tidak heran jika kemudian usul agar menteri tidak telibat dalam tim sukses maupun juru kampanye kian mengemuka. Sebab, tugas kementrian yang dipegang akan terganggu akibat sang menteri kerap mengajukan cuti. "Secara profesional tugas-tugas sehariannya masih bisa dilaksanakan oleh pejabat-pejabat yang di bawahnya. Tapi untuk tugas kementriannya tidak dapat diwakili oleh pejabat lain. Ini persoalannya adalah manajemen," jelas pakar Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan Pius Sugeng Prasetyo.
Pius mengakui keikutsertaan para menteri dalam tim sukses capres hanya membuat posisi dilematis. Di satu sisi memiliki tanggung jawab terhadap pemerintah. Sementara di sisi lain, menteri itu dibebani tugas partai. "Ini dilematis juga ketika dia cuti akan jadi permasalahan akan ada kekosongan, di satu sisi tidak bisa dihindari karna kabinet merupakan presentasi politik. Yang menjadi pertanyaan apakah melepaskan (cuti) atau tetap bisa meng-handle keduanya," tanya Pius.
Tidak hanya itu, pengamat politik dari UI Boni Hargens menambahkan keterlibatan para menteri dalam tim sukses sarat penyalahgunaan jabatan. Pemanfaatan fasilitas publik yang melekat pada sebuat kementrian dapat disalahgunakan unuk mendukung kegiatan kampanye. Ia pun mendesak adanya tindakan hukum bagi para menteri tersebut.
"Ini melanggar aturan pemilu sehingga mestinya ada tindakan hukum. Mestinya mereka bertarung secara fair," kata Boni.
Sulit memang. Di satu sisi, tidak ada aturan yang mengatur rinci mengenai kewajiban menteri untuk non aktif bila terlibat dalam tim sukses. Sementara di sisi lain, potensi penyalahgunaan jabatan juga besar bila kondisi ini dibiarkan begitu saja. Mungkin satu-satunya jalan yang bisa adalah mengetuk kebesaran hati sang menteri itu untuk tidak menyalahgunakan amanah dan uang rakyat demi kepentingan politik sesaat. Masalahnya, diamini atau tidak, rakyat pun akhirnya memang cuma bisa pasrah menerima.