Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sempat menuai kritik. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian di zaman Gusdur, Rizal Ramli mengatakan, pemerintahan SBY-JK telah menerapkan paham ekonomi neoliberal. Hal ini terlihat dari kebijakan ekonomi dan produk hukum yang dihasilkan pemerintah dan DPR. "Jadi, kalau mereka masih tidak mengakui menerapkan ekonomi neoliberal, saya kasihan. Itu kan bisa dilacak dari produk hukum dan kebijakan ekonomi selama ini," ujarnya.
Untuk bidang hukum, Rizal menyebutkan sejumlah produk perundang-undangan yang lahir karena pesanan kaum neolib, seperti, UU Migas dan UU Penanaman Modal. "Biasanya hutang negara itu ditukar dengan Undang-Undang," kata Rizal. "Seperti pada tahun 2003 telah lahir UU Badan Usaha Milik Negara. Supaya BUMN dijual semua, ditukar dengan pinjaman AS$300 juta dari Asian Development Bank, serta ada UU Migas yang ditukar dengan pinjaman Bank Dunia sebesar AS$400 Juta," ujar Rizal di sebuah diskusi yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah, di Jakarta, Jumat (29/5).
Menurut Rizal, kebijakan berhutang merupakan salah satu ciri kebijakan neoliberal. Sebab, kebijakan hutang luar negeri merupakan pintu masuk bagi pihak asing untuk mencampuri urusan perekonomian Indonesia. "Mereka (pihak asing) mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pemerintah agar bisa mendapatkan pinjaman. Syarat-syarat itu sering berupa pesanan untuk memasukkan kepentingan mereka dalam sebuah RUU yang sedang dibahas," katanya.
Di tempat terpisah, salah satu Tim Sukses SBY-Boediono, Zulkieflimansyah menampik tudingan Rizal. Menurutnya, menjelang pilpres banyak berdatangan isu untuk menjatuhkan salah satu pasangan capres. "Dalam konteks Indonesia ke depan, harus ada pemimpin yang tidak begitu percaya dengan mekanisme pasar. Sepanjang kita punya kapasitas, kita bisa bersaing dengan pasar," ujar politisi dari PKS ini.
Ia menegaskan, capres yang didukungnya bukanlah antek-antek asing seperti yang dituduhkan sejumlah kalangan. Menurutnya, hal tersebut hanyalah tudingan yang tidak memiliki alasan kuat. Bahkan, ia yakin, Indonesia bisa menjadi bangsa kuat jika dipimpin oleh tim yang baik dan masyarakat memiliki pemikiran kritis. "Sepanjang punya kemandirian, kekhawatiran-kekhawatiran dapat tereliminir dengan hal-hal yang objektif dan proporsional," ujarnya.
Tantangan Kedepan
Pengamat Ekonomi UI Faisal Basri mengatakan, Indonesia bukan penganut paham ekonomi neoliberal. Menurutnya, saat ini, Indonesia menerapkan sistem ekonomi campuran yang tidak secara ekstrim berpihak pada salah satu mazhab ekonomi yang ada. "Sejak merdeka kita telah mencoba berbagai macam sistem ekonomi. Semua jenis sudah kita terapkan. Kesimpulan saya kita ini tidak ke kanan dan tidak ke kiri," katanya.
Ia menegaskan, sistem neoliberal tidak boleh masuk ke Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945. menurutnya, keberadaan sistem ekonomi "Jangan dibilang neoliberal, yang ada hanyalah dimensi pasar bebas. Tidak ada di dunia ini yang neoliberal sekalipun di Amerika," tukasnya.
Ia berharap, capres yang bersaing dalam pilpres nanti, memiliki jawaban atas ketidaknyamanan sistem perekonomian di Indonesia. Menurutnya, hal pertama yang harus dicari jalan keluarnya adalah menjawab tantangan bangsa ke depan yaitu, bagaimana melakukan integrasi perekonomian nasional.
Menurutnya, ekonomi Indonesia telah tercabik-cabik dari satu daerah ke daerah yang lain. Ini dibuktikan, harga barang dan jasa di Wamena Papua lebih mahal daripada di jakarta. "Maka itu, ayo kita rajut potensi-potensi kekuatan kita supaya jadi kekuatan bangsa yang mumpuni. Kalau begini terus, masyarakat di luar Jawa akan marah, karena pasarnya tersegmentasi, ini yang harus kita selesaikan sebaik-baiknya," katanya.
Pengamat ekonomi lainnya, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, perdebatan masalah neoliberal dan kerakyatan itu merupakan perdebatan basi. Tiga kandidat yang akan maju dalam pilpres nanti, sama-sama berpeluang untuk menjalankan neoliberal itu. Kuncinya hanyalah pada kekuatan untuk intervensi asing. "Siapapun pemerintahan yang akan datang itu diikat dengan perjanjian pemerintahan sebelumnya," pungkasnya.