Di ruang yang sama tetapi pada waktu yang lebih awal, Khoe Seng Seng terlihat lebih tenang. Pria berusia 44 tahun itu selintas tampak mengantuk, khususnya pada bagian awal pembacaan tuntutan oleh penuntut umum Manna Sihombing. Khoe Seng bisa jadi lelah karena sidang yang dijadwalkan jam 13.00 itu molor. Terlebih lagi, Khoe Seng baru saja menempuh perjalanan cukup jauh dari Pengadilan Negeri Tangerang menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Saya tadi datang ke PN Tangerang untuk melihat persidangan Prita," tuturnya kepada hukumonline sebelum persidangan.
Prita yang disebut Khoe Seng adalah pasien Rumah Sakit Omni Internasional yang dijerat UU ITE karena menulis surat elektronik tentang pengalamannya berobat ke Omni. Khoe Seng dan Winny merasa senasib dengan Prita, yakni sama-sama sebagai korban karena terseret ke proses hukum ‘hanya' karena berkeluh-kesah. Bedanya, Prita ‘curhat' melalui fasilitas internet, sedangkan Khoe Seng dan Winny melalui surat pembaca di media cetak.
Sidang Prita baru saja dimulai, sementara Khoe Seng dan Winny sudah sampai tahap pembacaan tuntutan. Dua orang pemilik kios di ITC Mangga Dua ini dikenai tuntutan pidana yang sama yaitu satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun. Keduanya dinyatakan bersalah melakukan pencemaran secara tertulis sebagaimana dakwaan primer Pasal 311 KUHP. Pada bagian hal-hal yang memberatkan, Khoe Seng dan Winny sama-sama dinilai telah memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan.
Pencemaran yang dilakukan keduanya, menurut penuntut umum, dilakukan dengan cara mengirim surat pembaca ke media cetak. Khoe Seng dua kali mengirim yakni ke Harian Kompas tanggal 26 September 2006 dan Harian Suara Pembaruan tanggal 21 November 2006. Sementara, Winny mengirim ke Harian Suara Pembaruan tanggal 3 Oktober 2006. Surat pembaca tersebut intinya menceritakan pengalaman Khoe Seng dan Winny yang mendapati status tanah ITC Mangga Dua berbeda dengan ketika mereka pertama kali membeli kios.
PT Duta Pertiwi selaku pengembang, di dalam surat pembaca Khoe Seng dan Winny, dituduh telah melakukan penipuan. Menurut penuntut umum, tuduhan itu tidak benar karena Khoe Seng dan Winny sebenarnya sudah mengetahui tentang status tanah ITC Mangga Dua dari rapat perhimpunan penghuni ITC Mangga Dua yang digelar sebelum kedua terdakwa mengirim surat pembaca. Ketika itu, 11 September 2006, rapat yang dihadiri oleh perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Duta Pertiwi dijelaskan bahwa status tanah ITC Mangga Dua sedari awal HGB di atas HPL. Sementara, yang diketahui Khoe Seng dan Winny adalah HGB.
Perbedaan ahli pers
Dalam tuntutannya, penuntut umum juga mengutip dua keterangan ahli di bidang pers terkait kedudukan surat pembaca dalam dunia jurnalistik. Dua ahli itu adalah Sabam Leo Batubara dan Wikrama Iryans Abidin. Uniknya, Leo dan Wikrama yang sama-sama dari Dewan Pers ini mengemukakan pendapat yang berbeda. Wikrama berpendapat surat pembaca adalah produk non jurnalistik karena dikirim oleh orang yang tulisannya ingin diberitakan dalam surat kabar. Makanya, menurut Wikrama, tanggung jawabnya ada di penulis.
Terlepas dari produk jurnalisitik maupun non jurnalistik, tetap berlaku hak koreksi dan hak jawab. Namun, hak-hak itu tetap tidak menghapuskan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. "Kalau sudah menyangkut pidana di luar tanggung jawab pers," kata penuntut umum Didiet mengutip keterangan Wikrama di persidangan.
Leo berpendapat surat pembaca bukanlah produk jurnalistik, tetapi semi jurnalisitik karena walaupun bukan ditulis oleh jurnalis tetap harus melalui mekanisme redaktur. Pertanggungjawabannya, menurut Leo, berada di redaksi bukan penulis. Jadi, tegas Leo, masalah surat pembaca harus diselesaikan dengan UU Pers. "Tidak boleh dipidana penjara, tetapi dikenakan denda yang proporsional," papar Didiet, kali ini mengutip keterangan Leo Batubara.
Wikrama terkesan menganut ‘mahzab' yang memisahkan secara tegas antara ranah pidana dan ranah pers. Menurutnya, UU Pers bukan lex specialis. Jika ada yang merasa tercemar karena kasus surat pembaca maka yang bertanggung jawab adalah penulis bukan pers. Yang berlaku di sini pun bukan UU Pers, karena bukan tulisan jurnalistik. Penuntut umum eksplisit lebih merujuk pada pendapat Wikrama, karena pendapat Leo dipandang sebagai pendapat pribadi bukan sebagai Dewan Pers.
Untuk dalil apakah Duta Pertiwi selaku badan hukum bisa dicemarkan nama baiknya atau tidak, penuntut umum mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1976 yang menyatakan bahwa badan hukum tetap menjadi objek pencemaran nama baik, selama orang-orang yang berada di dekatnya seperti pemilik badan hukum merasa keberatan atas tindakan pencemaran tersebut.
Atas tuntutan ini, baik Khoe Seng dan Winny berencana mengajukan pembelaan sendiri terpisah dengan penasehat hukum mereka. Selepas sidang, Khoe Seng menyatakan keberatan atas apa yang dipaparkan penuntut umum. Menurutnya, banyak fakta persidangan yang diputarbalikkan oleh penuntut umum. Selain itu, selama proses persidangan, Khoe Seng juga menuding banyak saksi yang memberikan keterangan palsu. "Isi tuntutan bohong semua, jaksa bohong," serunya.
Penasehat hukum Khoe Seng dan Winny, Sholeh Ali menilai tuntutan terhadap kliennya mengada-ada karena tidak didasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan. Ali menegaskan Khoe Seng dan Winny berhak membuat surat pembaca karena kerugian yang mereka alami akibat kebohongan Duta Pertiwi jelas. "Lagipula, ini wilayah pers," tukasnya.