"Yang jadi masalah orang sehat menikah dengan pengidap HIV/AIDS. Ini perlu dipertimbangkan. Kalau sudah saling mengetahui, tetapi masih ngotot mau menikah silakan saja," kata Ketua MUI Bengkulu, KHA Daroini di Bengkulu, 6 Juni.
Ia mengakui masalah HIV/AIDS memang sensitif. Tetapi bila tidak segera dicarikan solusi akan membahayakan jiwa mereka berdua dan keturunan. Pernikahan para pengidap HIV/AIDS tidak akan dilarang sepanjang syarat-syarat nikah terpenuhi.
"Yang jadi masalah lagi kalau sebelumnya tidak tahu dan baru tahu setelah menikah. Nikah menjadi rusak karena tertipunya satu pihak. Oleh sebab itu maka cek HIV/AIDS menjadi penting," ujar Daroini.
Menurut Daroini, orang terkena HIV/AIDS bukan berarti langsung berkonotasi negatif. Sebab, bisa jadi penyakit tersebut tertular dari sang ibu. "Kalau terlanjur sayang, katakan tetap nikah walau kena AIDS. Nanti pakai kondom. Ini kajian fiqh. Bisa beda pendapat," tandasnya.
Bila terealisasi, dirinya mengusulkan pemerintah hendaknya membantu masalah biaya cek HIV/AIDS. Terlebih jika sudah ada kesepakatan mengenai cek HIV/AIDS sebagai syarat menikah, maka sudah semestinya dokter ahli dan peralatan pendukung cek kesehatan menyebar merata di pelosok nusantara.
"Kalaupun tidak ada, negara harus bertanggung jawab mengadakan demi masa depan bangsa dan keturunan yang berkualitas. Karena kalau tidak maka penularan HIV/AIDS akan terus berlangsung," tegasnya.