Proyeksi tersebut hampir dua kali lipat dari ramalan Asosiasi Penerbangan Internasional (International Air Transport Association/ IATA) tiga bulan lalu yang menyatakan kerugian maskapai mencapai USD4,7 miliar. Angka tersebut buruk dibandingkan pascaserangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS) di mana pendapatan maskapai internasional turun hingga tujuh persen.
Jika digabungkan dengan kerugian sepanjang 2008 yang mencapai USD10,4 miliar, industri penerbangan global diperkirakan merugi hingga USD20 miliar selama dua tahun. "Tidak ada preseden untuk hari ini ketika ekonomi melambat karena berubahnya latar belakang akibat guncangan krisis," kata Direktur Jenderal IATA Giovanni Bisignani di sela pertemuan tahunan maskapai penerbangan di Kuala Lumpur,Malaysia,kemarin.
Kendati harga minyak mentah masih melemah, maskapai penerbangan global tahun ini diperkirakan masih akan menderita kerugian akibat penurunan penumpang sebesar delapan persen dan pengiriman barang (kargo) sebesar 17 persen, terburuk sejak resesi besar di tahun 1930-an. "Bahkan jika ada pemulihan pun industri akan dihadapkan pada tingginya harga minyak sehingga mengakibatkan harga bahan bakar naik lagi.
Saat ini kami berhadapan denganpenurunan15% danpotensi kerugian sebesar USD80 miliar selama resesi,"katanya. Kondisi ini dianggap sebagai salah satu yang paling sulit sehingga IATA menyerukan adanya liberalisasi di industri penerbangan global. Pelemahan permintaan penerbangan internasional juga membuat outlook industri jasa penerbangan dunia melemah.Pekan lalu IATA memperkirakan pemulihan industri penerbangan paling cepat berlangsung tiga tahun ke depan.
"Kami mendesak otoritas pemerintahan mengadopsi kebijakan sistem udara terbuka (open sky) dan membuat regulasi baru jalur trans-Atlantik untuk pemulihan krisis,"kata Bisignani. Sementara itu, Chief Executive Qatar Airways Akbar Al Baker menyatakan proyeksi yang disampaikan IATA layak diturunkan.Dia justru menanyakan bagaimana asosiasi bisa mendapatkan gambaran penurunan sebesar itu.
"Dia hanya memperkirakan,"kata Al Baker. Menurutnya, optimisme perusahaannya bahkan ditunjukkan dengan berketetapan untuk memesan 200 pesawat baru mulai tahun ini hingga 2017 sebagai upaya penambahan armada dari saat ini yang hanya 84 unit.