Institusi yang dimaksud adalah Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertahanan Nasional, dan Kepolisian Republik Indonesia. Sejak dua tahun terakhir, laporan keuangan kelima institusi hukum itu memang tidak menunjukan perbaikan. Masing-masing institusi itu juga pernah mendapat opini disclaimer di tahun 2007.
Masalah inilah yang disesalkan Anwar Nasution. "Penegak hukum tidak patuh pada peraturan perundang-undangan harusnya memberi contoh dan teladan," ujar Ketua BPK itu saat jumpa pers di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Selasa (09/6).
Senada dengan Anwar, Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis juga kecewa dnegan laporan keuangan institusi di bidang hukum. Dia mengatakan buruknya laporan keuangan tersebut tak lepas dari manajemen keuangan yang ada di instansi itu. "Capacity building tidak jalan. Kemudian yang mengurus (laporan keuangan) tidak paham sistem akuntansi," kata Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR ini.
Selain itu, kata Harry, masalah ini bisa timbul lantaran bagian keuangan tidak bisa mengakases bagian yang lebih tinggi. "Misalnya, mereka segan untuk menagih bukti perjalanan dinas dari atasannya," ucap Harry.
Meski disclaimer, bukan berarti semua institusi penegak hukum laporan keuangannya jelek. Ada beberapa institusi yang mendapat opini sempurna alias "wajar tanpa pengecualian". Institusi itu adalah Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Yudisial. Sedangkan Komnas HAM mendapat opini "wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan".
Terlepas dari persoalan itu, cap disclaimer terhadap keseluruhan LKPP tahun 2008 oleh BPK bukan tanpa alasan. Ada sembilan kelompok masalah yang ditemukan BPK. Pertama, belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) ataupun ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, masih adanya berbagai jenis pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dan dikelola di luar mekanisme APBN. BPK menemukan adanya pungutan sekitar Rp 731 milliar oleh 11 kementerian/lembaga negara yang tidak ada dasar hukumnya.
Ketiga, belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang diselenggarakan departemen/lembaga. Akibatnya masih ada selisih antara kedua sistem tersebut. Termasuk juga laporan adanya penerimaan perpajakan sebesar Rp 3,43 triliun yang belum direkonsiliasikan.
Keempat, rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu Treasury Single Account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan panas bumi atas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar Rp 5,33 triliun. Kelima, inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan sangat lambat dan penilaiannya belum seragam.
Lalu keenam, belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi pemerintah. Ketujuh, belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi.
Kemudian yang kedelapan, belum ada program mendasar untuk memberdayakan Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Intern dan Bawasda dalam peningkatan mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi. Dan yang kesembilan, peranan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi pemerintahan maupun dalam pemberdayaan pengawas intern pemerintah.
Tidak Patuh UU
Mengenai ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, ada enam masalah yang dikemukakan BPK. Yakni (i) pungutan/dana pada 11 kementerian negara/lembaga tidak ada dasar hukumnya dan dikelola di luar mekanisme APBN minimal Rp 730,99 milliar; (ii) penetapan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga terdapat penyaluran DAK Rp 1,28 triliun ke daerah yang tidak layak;
Lalu (iii), pengeluaran atas pengajuan Surat Perintah Membayar sebesar Rp 9,95 milliar yang dibayarkan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta II diduga fiktif; (iv) penyelesaian hak pemerintah atas kas yang berasal dari perolehan hibah sebesar AS$ 17,28 juta berlarut-larut; (v) pembayaran PBB Migas atas KKKS yang dibebankan pada rekening 600 dan 508 tidak tepat; dan (vi) penggunaan Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah sebesar Rp 55,18 milliar dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN.
Walaupun tidak menyatakan pendapat terhadap LKPP 2008, namun secara keseluruhan BPK menilai adanya kemajuan dalam penyajian laporan keuangan instansi pemerintah. Kemajuan ini terlihat dalam tiga tahun terakhir. Misalnya, beberapa kementerian/lembaga telah memenuhi permintaan BPK untuk menulis Management Representative Letter (MRL) dan menyusun Rencana Aksi (Action Plan) guna memperbaiki opini pemeriksaan laporan keuangannya.
Masih menurut BPK, berbagai instansi pemerintahan mulai memperbaiki sistem pembukuan, sistem teknologi informasi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menata kekayaan instansi, serta mematuhi peraturan yang berlaku. Berbagai instansi juga mulai menertibkan pungutan non-pajak dan menata sistem pembukuan dan rekening penyimpanan uangnya.
Menanggapi LKPP 2008 yang disclaimer, Harry Azhar Azis mengatakan seharusnya Presiden segera menerbitkan peraturan tentang standar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Peraturan itu, lanjut Harry, berisi mengenai penghargaan dan hukuman terhadap instansi pemerintah yang membuat laporan keuangan dengan baik dan yang tidak baik. "Reward yang diberikan misalnya bonus atau promosi jabatan," tandasnya.