Keberatan itu disampaikan mantan Ketua Umum INI, Harun Kamil, saat tampil sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi proyek Sisminbakum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (08/6). Harus bersaksi dalam perkara atas nama terdakwa Romli Atmasasmita.
Di depan majelis hakim pimpinan Syahrial Sidik, Harun Kamil menjelaskan kalangan notaris mendapat informasi tentang perubahan sistem manual itu melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 4 Oktober 2000. Beleid ini memberitahukan pemberlakuan Sisminbakum. Di lapangan, sistem pelayanan berbasis online itu belum sepenuhnya berjalan. Dalam beberapa hal masih sistem manual. Untuk lebih memperluas pemahaman tentang Sisminbakum, Romli ikut menghadiri pertemuan kalangan notaris di Batam. Nah, pada pertemuan di Batam itulah, kata Harun, kalangan notaris mengajukan keberatan.
Masih menurut Harun, di depan ratusan peserta, Romli memaparkan manfaat perubahan sistem manual menjadi Sisminbakum berbasis online. Proses penanganan badan hukum dijanjikan lebih cepat. Pada sistem manual normal dibutuhkan waktu 60 hari. Sebaliknya, dengan Sisminbakum baru, proses pelayanan dijanjikan selesai satu minggu. Jauh lebih menghemat waktu, bukan?
Keuntungan lain adalah menghindari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Seingat Harun Kamis, pada saat ceramah di depan anggota INI di Bandung 26 Mei 2000, Romli sempat menyinggung manfaat ini. Melalui Sisminbakum, notaris dan petugas tidak bertemu langsung, sehingga peluang KKN semakin sempit.
Hal lain adalah apresiasi dari investor luar. Semakin cepat pelayanan yang diberikan, semakin puas para investor. "Karena percepatan pelayanan itu, kalau dulu keluhan, sekarang apresiasi," tuturnya.
Majelis hakim sempat meminta penegasan tentang substansi yang dikeluhkan para notaris. Dijelaskan Harun, belum sluruh seluruh memiliki perangkat komputer. Jika menggunakan sistem online, jaringan internet belum tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah dimana terdapat formasi notaris. Belum lagi kemungkinan pelatihan bagi kalangan notaris untuk mengoperasikan sistem baru tersebut.
Kalangan notaris kian berkeberatan karena perubahan biaya akses (access fee) dan pengesahan akta . Biaya pengesahan yang awalnya Rp200 ribu melonjak tajam menjadi Rp1juta. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1999, seharusnya notaris hanya dikenakan biaya Rp200 ribu. Karena itu, selaku Ketua Umum INI kala itu, Harun menyampaikan keberatan kalangan notaris kepada Romli. Cuma, keberatan itu hanya disampaikan secara lisan. "Kami sampaikan keberatan, dengan melakukan penolakan persiapan," katanya.
Namun, sambung Harun, Romli memberikan penjelasan bahwa perubahan biaya itu sudah melalui penghitungan akuntan. "Sehingga keluar angka tersebut, harap maklum," kata Harun.
Pada dasarnya, jelas Harun, kalangan notaris tidak menolak sistemnya. Yang ditolak adalah biaya akses yang terlalu mahal. INI pernah meminta rincian biaya akses itu kepada PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Hingga masa tugas Harun selaku Ketua Umum INI habis, tak ada penjelasan tuntas soal rincian biaya tadi.
Pada masa menjadi Menteri Kehakiman, Marsillam Simanjuntak pernah memberikan kebebasan kepada para notaris untuk memilih pelayanan manual atau berbasis online. Sepeninggal Marsillam, sistem manual ditutup. Pada masanya, Marsillam mengingatkan agar pungutan biaya akses itu tidak menabrak aturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Atas keterangan Saksi Harun Kamil, Romli pun mengklarifikasi. "Ada beberapa yang tidak tepat," tuturnya. Menurutnya, pertemuan di Batam, Romli tidak pernah mendengar adanya pernyataan keberatan serta penolakan. Malahan, sambung Romli, para notaris meminta Sisminbakum agar disosialisasikan dan dilanjutkan. Namun begitu, Harun tetap bersikukuh pada keterangannya dipersidangan. "Saya tetap dengan keterangan saya,"imbuhnya.
Senada dengan Harun Kamil, mantan Bendahara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK) Ismail Bermawi mengaku pernah mengutarakan keberatan atas perubahan biaya acces fee kepada Sekretaris Dirjen AHU (kala itu), Hasanudin. Menurut Bermawi, biaya akses fee satu juta rupiah tidaklah wajar. Berdasarkan kalkulasi pengurus koperasi, kenaikan biaya paling mahal Rp500 ribu. "Akses feenya kami keberatan. Kami nilai satu juta ini terlalu tinggi," pungkasnya.