Peneliti Korupsi Politik ICW Abdullah Dahan mengatakan pemberian cinderamata berupa cincin tidak patut dilakukan jika dikaitkan dengan kinerja DPR yang masih jauh dari harapan. Baginya, menerima cincin bagi anggota dewan masih lebih kecil artinya ketimbang DPR mendongkrak citranya di penghujung masa jabatan. "Misalnya, menyelesaikan beberapa produk legislasi yang masih tersandera, seperti RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)," katanya.
Ia menjelaskan, pemberian cermin merupakan simbol agar anggota Dewan mengevaluasi diri mereka. Artinya, dengan cermin ini, anggota dewan periode 2004-2009 diharapkan dapat berkaca diri untuk menilai apakah kinerjanya selama ini sudah baik atau tidak. "Untuk itu muncul pertanyaan, sudahkah saya maksimal mengemban amanah, banggakah saya menjadi wakil rakyat, seberapa bersih dan adilkan saya berperilaku sebagai pejabat publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya bisa dijawab dengan cermin," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC) Arif Nur Alam mengatakan pemberian cermin ini untuk menilai sudah sesuai tidak anggota dewan dalam bekerja. Ia berharap agar pemberian cinderamata berupa cincin tidak terjadi di DPR, agar lembaga-lembaga negara yang lain tidak serta merta ikut memberikan cinderamata kenangan untuk anggotanya. "Jangan sampai, apa yang dilakukan anggota dewan (menerima cincin sebagai cinderamata), diikuti oleh lembaga lain, bahkan sampai DPRD," katanya.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang pemberian cinderamata cincin merupakan hal yang sia-sia. Bahkan, ia menyarankan agar anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk cincin dapat dipergunakan untuk penyelesaian kinerja DPR di bidang legislasi. "Memang pemberian cincin seberat 10 gram sangatlah kecil dibandingkan dengan gaji dan tunjangan anggota dewan yang memadai, maka itu, saya menyarankan agar anggota DPR menolak rencana pemberian cincin tersebut," ujarnya.
Walaupun koalisi ini tidak dapat menemui Badan Kehormatan DPR, koalisi tetap menyerahkan cermin dengan ukuran panjang satu meter dan lebar 30 centimeter ini ke Sekretariat BK di Nusantara II Lantai II.
Produk legislasi
Sementara itu, Ketua DPR Agung Laksono mengatakan pemberian cincin kepada anggota dewan yang akan habis masa jabatannya merupakan tradisi lama. Tradisi tersebut sudah dilakukan sejak 25 tahun sampai 30 tahun lalu. Bukanlah sebuah keharusan yang harus dilakukan setiap purna masa jabatan anggota dewan. "Itu bukanlah sebuah keharusan, jika dianggap tidak penting, mending tidak usah dilakukan rencana itu," katanya.
Ia menyarankan agar anggaran yang sudah dianggarkan untuk cincin dapat dipergunakan untuk kepentingan lain. Seperti halnya penyelesaian produk legislasi sebagai sebuah kerja anggota dewan. Ia akan memanggil Setjen dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk membahas mengenai cincin ini. "Segera saya akan membahas masalah ini dengan Setjen dan BURT," ujarnya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Ia memandang pemberian cincin bukanlah sebuah keharusan yang wajib dijalankan. "Ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama, maka itu saya sependapat dengan Pak Agung, ini bukan sebuah keharusan," kata Anggota Dewan Syuro PKS ini.
Menurutnya, Fraksi PKS sudah menyatakan menolak pemberian cincin emas. Ia menjelaskan penolakan didasari karena dalam agama Islam, seorang laki-laki haram memakai perhiasan dari emas. Ia menyarankan agar pemberian cinderamata bukanlah cincin emas, melainkan plakat dan bukan dari emas. Selain plakat, ia menyarankan, agar pemberian cincin ini digunakan untuk penyelesaian produk legislasi. "Seperti misalnya, penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor," tukasnya.