"Tumbuhnya bangunan liar di bantaran sungai yang tidak terkendali mencerminkan terlambatnya Pemkot Semarang dalam merespons dinamika kota," ujar anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang Agung Budi Margono, di Kota Semarang, Rabu (17/6).
Menurut Agung, pendirian bangunan di bantaran sungai telah menyebabkan persoalan lingkungan seperti menyempitnya penampang sungai, kerusakan tanggul, dan menumpuknya sampah yang dibuang ke tengah sungai.
"Perilaku manusia yang tinggal di bangunan ini juga harus diubah. Sungai merupakan bagian dari kehidupan, bukan untuk dijadikan lokasi pembuangan limbah," ucap Agung.
Secara yuridis, pendirian bangunan ilegal di bantaran sungai Banjir Kanal telah melanggar Peraturan Daerah Nomor Tahun 2004 tentang Rencana Detil Tata Ruang Kota. Selain dapat mengatasi masalah lingkungan dan sosial, penyediaan ruang publik di bantaran sungai dapat menjadi solusi untuk menambah ruang terbuka hijau yang kini semakin terhimpit pembangunan kota.
Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan III Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang M Farchan mengatakan, bantaran sungai yang diperuntukkan sebagai ruang publik telah dimasukkan dalam Perda Ruang Terbuka Hijau. Selain sebagai sarana rekreatif bagi publik, ruang ini juga diciptakan sebagai daerah inspeksi pengamanan daerah aliran sungai Banjir Kanal.
"Selain itu, ruang tersebut juga dapat menghidupkan roda ekonomi. Misalnya, selain terdapat kafe yang berada di sisi jogging track," ucapnya.
Oleh sebab itu, lanjut Farchan, diperlukan adanya badan pengelola banjir kanal yang turut bertanggung jawab terhadap penanganan bantaran sungai tersebut pascanormalisasi.
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral Kota Semarang Fauzi mengatakan, penertiban bangunan liar di bantaran sungai akan dilakukan setelah Pemkot menerima desain penanganan Banjir Kanal. "Agar diketahui titik-titik mana yang diprioritaskan untuk ditertibkan," katanya.
Fauzi mengakui, akan menertibkan bangunan liar tersebut secara bertahap karena keterbatasan anggaran untuk membongkar dan menata ulang.