"Kok tidak punya perasaan menggunakan nama Buddha untuk bar yang menjadi tempat hiburan, minum bir, dan anggur," ungkap tokoh agama Frans Magnis Suseno saat jumpa pers mengecam dibukanya Buddha Bar di Jakarta, Jumat (19/6). Ikut hadir dalam jumpa pers tersebut para tokoh lintas agama, pakar hukum, hingga politikus.
Frans Magnis mengatakan, penggunaan simbol agama dalam kegiatan komersial sangat bertentangan dengan ajaran agama yang ingin membebaskan manusia dari kepentingan komersial. "Agama membuka wawasan bahwa komersial hanya sepotong kecil dari kehidupan," ucapnya.
Sedangkan menurut Musda Mulia dari Indonesian Conference of Religion in Peace, kasus Buddha Bar menunjukkan bahwa di Indonesia telah memasuki defisit demokrasi yang menganggap bebas melakukan apa saja. "Contohnya menggunakan apa saja untuk kepentingan pasar," ucapnya.
Selain itu, katanya, adanya salah persepsi dalam masyarakat tentang kebebasan beragama yang diartikan juga bebas berbuat apa saja. "Itu salah. Di negeri ini agama digunakan untuk kedamaian bukan kebencian," tegasnya.
Pendapat senada juga dikatakan pakar hukum Jimly Ashidiqqie, bahwa masalah Buddha Bar adalah masalah serius yang harus diselesaikan melalui proses hukum. "Tugas pengadilan untuk mengatasi masalah tersebut. Pidanakan orangnya, gugat perdata," lontarnya.
Ia juga menilai, sudah seharusnya pemerintah ikut campur dalam menyelesaikan konflik antara masyarakat, negara, serta bisnis tersebut. "Negara tidak boleh membiarkan itu terjadi," tegasnya.
Lain lagi dikatakan pengamat politik Yudi Latif, bahwa pengelola Buddha Bar telah melanggar hak asasi manusia. "Negara harus mencegah segala pelecehan dan harus melindungi seluruh agama," tegasnya.