Dalil senada juga diungkapkan dalam gugatan PT Nubika terhadap Stanchart dan replik yang disampaikan, Selasa (16/6) lalu. Kuasa hukum PT Nubika mengakui bahwa Diana Virgo mendapatkan surat kuasa berupa dealing mandate (amanat) dari direksi PT Nubika pada 8 September 2006. Hanya, dealing mandate itu bertujuan untuk transaksi hedging (lindung nillai) berupa foreign exchange facility (fasilitas pertukaran uang asing) dengan jumlah maksimal AS$5 juta. Jangka waktu dealing mandate itu hanya 90 hari.
Hal itu sesuai dengan kesepakatan PT Nubika dan Stanchart dalam banking facility (fasilitas bank) dan general terms and conditions pada 23 Juni 2006. Dari kedua perjanjian itu disepakati Stanchart akan memberikan beberapa fasilitas kredit, di antaranya fasilitas foreign exchange (pertukaran mata uang asing) yang berlaku maksimal 90 hari.
Dealing mandate tidak ditujukan untuk transaksi yang beresiko tinggi seperti callable forward. Buktinya, dalam dealing mandate tidak disebutkan bahwa direksi memberikan wewenang pada Diana untuk melakukan transaksi callable forward. Dengan begitu, Diana tidak memiliki kapasitas dan wewenang untuk melakukan transaksi tersebut. Stanchart juga dinilai lalai dalam meneliti kewenangan dan kapasitas Diana Virgo sehingga melanggar azas kepatutan dan kehati-hatian. Dalil ini sekaligus membantah pendapat kuasa hukum Stanchart yang menyatakan callable forward sah dan mengikat sebagai perjanjian.
Kuasa hukum PT Nubika juga menyatakan Stanchart melaksanakan transaksi derivatif dengan iktikad tidak baik. Stanchart dinilai memberikan informasi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan tujuan dari transaksi itu, yakni untuk lindung nilai, sehingga perjanjian itu dianggap cacat hukum.
Apalagi, kontrak derivatif itu tak seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Misalnya, kewenangan mengakhiri perjanjian hanya ditangan Stanchart sedangkan PT Nubika tidak mempunyai kewenangan itu. Ketika PT Nubika ingin membatalkan perjanjian, justru dituntut membayar ratusan miliar rupiah. Jika tujuan transaksi adalah untuk lindung nilai, ketentuan ini tidak mungkin ada.
Senada dengan dalil gugatan, kuasa hukum PT Nubika menegaskan perjanjian callable forward melanggar ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No.7/31/PBI/2005 tertanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif.
Perjanjian itu juga melanggar PBI No.10/28/PBI/2008 tertanggal 12 November 2008 tentang Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank, SE BI No. 10/42/ DPD tertanggal 27 November 2008, serta PBI No. 10/37/PBI/ 2008 tertanggal 16 Desember 2008 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah.
Sebelumnya, Stanchart menuding PT Nubika telah melakukan perbuatan melawan hukum lantaran tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian callable ratio forward yang telah disepakati oleh kedua pihak. Seharusnya PT Nubika mematuhi segala syarat dan ketentuan yang telah disepakati dalam callable ratio forward.
Kalaupun ada hambatan dalam pelaksanaan perjanjian, PT Nubika harus menyelesaikan permasalahan sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi, PT Nubika sengaja tidak melanjutkan perjanjian saat transaksi masuk tahap kedelapan. Padahal PT Nubika telah tujuh kali melakukan dan menikmati transaksi. Kesengajaan itu dinilai melanggar hak Stanchart berupa penyerahan uang dolar AS pada transaksi kedelapan dan seterusnya.
Pengajuan gugatan ke pengadilan juga dinilai melanggar asas kepatutan. Akibatnya Stanchart menderita kerugian Rp116.414.562.014. Stanchart juga mengalami kerugian atas rusaknya nama baik dan reputasi, sehingga kehilangan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu Stanchart menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp100 miliar. Kerugian itu harus dibayar secara tunai dan sekaligus selambat-lambatnya delapan hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Tetap Wajib Lapor
Soal kewajiban memberikan laporan mingguan dan laporan khusus tentang transaksi derivatif, dalam repliknya kuasa hukum PT Nubika berpendapat Stanchart tetap harus melakukan kewajiban itu. Hal itu sebagaimana diatur dalam PBI No. 7/31/PBI/2005. Kewajiban itu tidak hanya berlaku pada transaksi margin trading seperti dalil kuasa hukum Stanchart.
Soal informasi resiko transaksi derivatif, kuasa hukum Stanchart menyatakan sebelum kontrak derivatif ditandatangani, Stanchart telah menerangkan resiko atas perjanjian, baik lisan maupun tertulis. Penjelasan tertulis itu dituangkan dalam indicative term sheet yang ditandatangani PT Nubika pada 10 September 2008. PT Nubika juga telah membuat pernyataan dalam callable ratio forward. Dalam surat pernyataan itu, PT Nubika menyatakan melakukan transaksi berdasarkan pertimbangan sendiri, memahami serta menerima segala ketentuan, persyaratan dan resiko dari transaksi callable ratio forward.
Alasan Stanchart itu dibantah kuasa hukum PT Nubika. Dalam indicative term sheet memang terdapat klausul risk disclosure. Hanya, klausul itu mengatur biaya pengakhiran transaksi tanpa menjelaskan berapa biaya pengakhiran dan bagaimana perhitungannya. Secara tiba-tiba, melalui surat tanggal 11 Februari 2009, Stanchart menuntut pembayaran Rp175 miliar lantaran PT Nubika menghentikan transaksi derivatif.
Dalam surat itu dijelaskan, perhitungan tagihan tersebut mengacu pada Master Agreement 2002. Padahal, PT Nubika tidak pernah melihat, membaca dan menandatangani Master Agreement itu, sehingga PT Nubika berhak untuk menolak cara perhitungan seperti itu.
Persidangan yang dipimpin Panusunan Harahap ini akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda penyerahan duplik dari kuasa hukum Stanchart.