cuplik.com - SURABAYA - Ransum makanan yang diberikan kepada 11 warga negara asing (WNA) di rumah detensi imigrasi (Rudenim) Surabaya masih jauh dari standar kesehatan. Tak ayal hal ini membuat WNA kekurangan gizi.
Saban hari, jatah makanan yang diberikan kepada para imigran gelap ini dibatasi maksimal hanya Rp12.000 per-orang. Uang itu hanya cukup untuk membeli dua kali nasi bungkus dengan lauk alakadarnya.
"Terus terang kami merasa serba salah. Alokasi anggarannya memang hanya segitu, mau bagaimana lagi?" ujar Kepala Rudenim Surabaya Djarot Sutrisno mengakui, Selasa (17/2/2009).
Selain ransum makanan yang hanya dijatah dua kali sehari, para imigran gelap penghuni rumah detensi Tanjung Perak nyaris tidak pernah mendapat makanan tambahan. Seperti minuman susu dan buah-buahan seperti layaknya kebutuhan konsumsi empat sehat lima sempurna.
"Ya terpaksa seadanya. Agar cukup sehari, mau tidak mau kita terpaksa hanya bisa membelikan nasi bungkus di warung pinggir jalan," ungkapnya blak-blakan.
Meski memprihatinkan, pihak Rudenim tidak mau begitu saja disalahkan atas kondisi tersebut. Sebab, pihaknya hanya sebagai pelaksana. Selain itu fungsi rumah detensi sebenarnya hanyalah bersifat persinggahan sementara bagi imigran atau turis asing yang masa tinggalnya melebihi ijin (overstay).
"Harusnya perwakilan negara imigran bersangkutan lebih peduli dalam memperhatikan nasib mereka. Bukan malah dibiarkan terkatung-katung di sini tanpa kejelasan. Lalu siapa yang akan menanggung beban hidup mereka, jika pemerintah Indonesia juga tidak memiliki alokasi anggaran untuk itu," kritik Djarot.
Pernyataan mantan Kasi Intelijen Kantor Imigrasi Bali ini sepertinya lebih ditujukan pada Pihak Kedubes Myanmar. Hal itu dikarenakan ada sembilan manusia perahu asal negeri miskin di Asia Tenggara itu yang tertahan di Rudenim Surabaya hampir 1,5 tahun lebih.
Dua manusia perahu asal Myanmar yang berhasil dikonfirmasi mengatakan mereka hanya bisa pasrah. Demikian juga soal pasokan makanan yang serba terbatas. "Mana mungkin kami bisa beli makan sendiri jika tak kerja. Tak mungkin lah. Biar kami hanya bisa menunggu yang ada saja," jawab Thim Thak, 24, salah seorang manusia perahu yang telah mendekam didalam ruang isolasi Rudenim Surabaya selama 14 bulan.
Secara kasat mata kondisi beberapa imigran yang ada di dalam rumah detensi cukup baik. Hanya badan mereka terlihat kurus seperti kurang gizi. Ada saja yang jatuh sakit. "Tapi kami tetap berusaha memperhatikan kondisi kesehatan mereka, termasuk kemungkinan membawa imigran ilegal yang sakit ke rumah sakit," kata Djarot.