Alat bukti pemeriksaan tindak pidana rahasia negara sebenarnya sudah cukup maju. Bukan hanya meliputi alat bukti sebagaimana disebut dalam KUHAP, tetapi juga sudah berusaha mengakomodir perkembangan alat bukti elektronik. Tetapi RUU ini merumuskan norma bahwa dokumen rahasia negara tak bisa dibawa ke persidangan sebagai alat bukti untuk persidangan diluar tindak pidana rahasia negara. Jadi, sekalipun suatu dokumen rahasia negara bisa menyingkap praktik pencucian uang oleh pejabat negara, dokumen itu -kalau rumusan ini kelak disetujui-tetap tak bisa dibawa ke meja hijau.
Dalam hal ini patut dicatat perkembangan pembahasan antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Kejaksaan Agung. Dua pekan lalu, kedua lembaga ini menghadirkan sejumlah pakar untuk membahas kemungkinan hasil analisis PPATK -yang selama ini bersifat rahasia --sebagai alat bukti.
Namun, bukan berarti informasi dalam dokumen rahasia negara itu seratus persen diharamkan untuk diketahui. Jika penyidik, jaksa atau hakim membutuhkan, lembaga negara yang menerbitkan rahasia negara itu dapat menggantikan dokumen fisik rahasia negara tadi dengan selembar surat keterangan.
Untuk mendapatkan rahasia negara tadi pun butuh proses panjang. Permintaan atas dokumen rahasia negara harus disampaikan lewat Kapolri, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. Mungkin juga -dalam draft terbaru RUU Rahasia Negara - dimintakan pimpinan KPK. Pimpinan lembaga negara baru bisa menyetujui permintaan itu setelah ada persetujuan presiden. Berdasarkan konsep RUU ini, wewenang penyelenggaraan rahasia negara memang ada di tangan Presiden.
Selain membatasi dokumen rahasia negara sebagai alat bukti, RUU ini juga memberikan kekebalan hukum kepada setiap orang yang terlibat dalam pembuatan rahasia negara. Setelah masa retensi rahasia negara berakhir sangat mungkin nama-nama yang terlibat dalam rahasia negara itu terungkap ke permukaan. RUU Rahasia Negara melindungi mereka dari kemungkinan tuntutan pidana. Mereka yang namanya terkait rahasia negara itu tidak boleh dituntut atau dipidana. Pengecualian atas larangan itu hanya untuk tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat.
Rumusan tadi memang baru sebatas draft yang belum tentu disetujui bersama DPR dan Pemerintah. Anggota Komisi I DPR Sidharto Danusubroto memastikan bahwa pembahasan RUU Rahasia Negara di Senayan belum sampai membahas hukum formil rahasia negara tadi. "Belum sampai ke sana," ujarnya kepada hukumonline.
Anggota Komisi I dari Fraksi PKS, Mutammimul ‘Ula menambahkan pembahasan RUU baru sampai pada klasifikasi penyelenggara pengelolaan rahasia negara. Senada dengan Sidharto, Mutammimul ‘Ula juga enggan memberikan pandangan tentang rumusan larangan menjadikan dokumen rahasia negara sebagai alat bukti, dan impunitas semua orang yang tersangkut rahasia negara kecuali pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi.
Rumusan lain RUU menegaskan bahwa pemeriksaan persidangan tindak pidana rahasia negara dilakukan tertutup. Normatifnya, persidangan tertutup juga dilakukan untuk pemeriksaan tindak pidana kesusilaan. Tetapi untuk pembacaan putusan, hukum positif Indonesia mengharuskan dilakukan terbuka untuk umum. Jika tidak, putusan itu batal demi hukum. Pertanyaannya, apakah norma ini kelak berlaku pada sidang tindak pidana rahasia negara?
Pembahasan RUU ini di Senayan akan menentukan. "Saya berharap RUU ini selesai dibahas dengan benar," kata anggota DPR, Andreas Pareira, dalam sebuah diskusi pekan lalu.
Meskipun RUU masih dibahas, bukan berarti tak ada payung hukum untuk tindak pidana rahasia negara. KUHP sudah memuat pasal 112 sampai pasal 120, dan pasal 528 yang mengatur kejahatan terhadap rahasia negara. Pasal 112 KUHP, misalnya, mengancam pidana penjara maksimal tujuh tahun siapapun yang dengan sengaja mengumumkan suatu surat, berita, atau keterangan tentang suatu hal yang diketahuinya demi kepentingan negara harus dirahasiakan, ataupun memberitahukan atau memberikannya kepada suatu negara asing.