Debat dengan tema 'Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran' Kamis (25/6) malam memang cukup padat dan berisi. Moderator Aviliani melontarkan sejumlah pertanyaan. Namun sayang, para capres tak mendapat waktu cukup untuk menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya mendapat kesempatan 90 detik untuk menjawab setiap pertanyaan.
Pengamat ekonomi Sri Adiningsih yang menyesalkan sedikitnya waktu yang dimiliki para capres untuk menjawab setiap pertanyaan. "Waktu yang terbatas untuk menjawab setiap pertanyaan sehingga jawaban capres terpotong-potong. Jadi sulit menilai secara utuh pokok pikiran ekonomi mereka," katanya kepada INILAH.COM, Jumat (26/6).
Kendati demikian, Sri menilai belum ada deferensiasi yang tegas antarsatu capres dengan capres lainnya. Ia mencontohkan soal isu utang. Meski terjadi perbedaan satu sama lainnya, namun secara prinsip semua capres tak memiliki perbedaan yang tajam.
"Semua capres antiutang. Namun tak terungkap kapan mengurangi utang rutin? Kapan mulai tidak utang lagi? Yang berarti kapan APBN kita surplus. Itu yang tidak terungkap," tegasnya. Sri mempertanyakan pernyataan SBY yang antiutang, namun kenyataannya justru pemerintahan SBY kian menambah daftar utang luar negeri.
Sementara dari pemaparan visi-misi tentang pengentasan kemiskinan dan pengangguran, Sri melihat Megawati lebih menonjolkan kemandirian bangsa, dan SBY realitis-pragmatis yang tidak mengalami perubahan dalam pengelolaan APBN.
Sedangkan capres JK, Sri menilai, berusaha menawarkan perbedaan dengan SBY. JK lebih mengedepankan peranan swasta dalam memberikan kesempatan kerja, dan usulan merevisi UU Tenaga Kerja. "Meski semuanya tidak terukur targetnya," katanya.
Pendapat senada juga datang dari pengamat politik UI Rocky Gerung. Menurut dia, debat capres putaran kedua belum menunjukkan sejatinya debat. Karena yang muncul baru perselisihan pemikiran satu capres dengan capres lainnya. "Perselisihan pikiran sudah cukup terasa, walaupun pendalaman arah kebijakan belum meyakinkan. Tetapi keberanian tampil beda sudah cukup menghibur publik," ujarnya.
Meski demikian, menurut Rocky, debat capres putaran kedua telah menguak pilihan ideologi dan madzhab para capres. Seperti Megawati yang menunjukkan garis ideologi kemandirian bangsa, meski tak mengurai bagaimana mengimplementasikan hal tersebut. "Tapi secara ideologis, Mega ingin menegaskan negara sepenuhnya bertanggung jawab pada kemakmuran warganya," paparnya.
Sementara SBY, Rocky menilai tidak muncul secara tegas ideologi yang dianut. Justru SBY cenderung akomodatif antara pasar dan negara. Selain hanya memaparkan untuk melanjutkan program yang kini berjalan seperti BLT, KUR, PNPM, SBY juga dinilai tengah melakukan politik keseimbangan. "Dalam debat semalam SBY berusaha menetralisir isu neolib," katanya.
Sedangkan capres JK, Rocky menilai, menunjukkan sosok capres yang menjadi kompetitor SBY, bukan lagi menunjukkan kapasitas wapres SBY. "JK tampil sebagai capres bukan sebagai wapres. Ia berani berbeda dengan SBY," katanya.
Memang dalam capres putaran kedua, JK berani berbeda dengan SBY maupun Megawati. Seperti sentilan soal kontrak gas Tangguh kepada Megawati dan SBY. Selain itu, JK juga berinisiatif melakukan revisi UU Tenaga Kerja untuk membuat harmonisasi dunia usaha antara buruh dan pengusaha.
Meski debat capres putaran kedua segar, namun publik tak sepenuhnya utuh memahami perbedaan dan target para capres. Kondisi ini harus ditindaklanjuti oleh tim kampanye nasional masig-masing capres untuk memberikan penjelasan ke publik. Sekali lagi, agar tujuan, dan substansi debat tak kabur.