Empat tahun lalu, aku membina hubungan dengan Seno. Sejak awal, hubungan itu kuarahkan untuk serius. Apalagi, Seno bukan orang baru bagiku, dia teman sejak SMA. Orangtuaku pun sudah mengenalnya, dan ketika tahu dia menjadi kekasihku, tak ada wajah keberatan. Jadi, kami pun berpacaran dengan riang. Di keluarganya pun, aku cukup akrab, terutama dengan ibunya.
Seno rajin ke rumah, dan dalam waktu dua tahun, sudah akrab sekali dengan Bapak. Kadang, mereka bicara berdua, atau main catur. Ke gereja aja mereka tak pernah bersama. Seno memang "malas" untuk soal satu itu. Aku pernah meminta dia sesekali ikut dengan keluargaku, tapi tak pernah berhasil. Bapak pernah mempertanyakan apakah Seno suka beribadat atau tidak, dan aku menjawab jujur, bahwa dia baik, meski ibadatnya tak bagus. Bapak menasihatiku untuk bisa mengajaknya ke arah yang lebih baik. Apalagi kata Bapak, kelak Seno yang akan menjadi kepala keluarga.
Berarti Bapak merestui hubungan kami. Aku senang sekali.
Tapi itu dua tahun yang lalu. Kemudian, tiba-tiba, sikap Bapak berubah. Suatu malam dia memanggilku, sehabis pulang dari Salatiga. Bapak bertanya, apakah hari itu aku bersama Seno. Aku menjawab tidak, Seno tugas luar kota. Mungkin besok dia akan kembali. Aku sendiri sibuk di kantor, dan tidak sempat menelponnya. Tapi kenapa Bapak tiba-tiba bertanya tentang Seno? Sepulang bepergian lagi? Ada apa?
Bapak tidak menjawab. Hanya mengatakan hal sangat tidak aku duga. "Mulai sekarang, pelan-pelan, jauhi Seno. Bapak tidak ingin kamu berpacaran lagi dengannya." Deg! Ucapan Bapak mengagetkanku. Ada apa? Kenapa? Tapi Bapak tidak memberikan penjelasan. Hanya berkata bahwa itu keputusannya. Dan Bapak berkata, kalau Seno datang, dia tak ingin lagi berjumpa. "Kalau bisa, jangan dia datang lagi ke sini. Kamu harus percaya pada Bapak, harus patuh."
Aku menangis malam itu. Aku coba telepon Seno, tapi ponselnya tidak aktif. Berkali-kali, tidak juga aktif. Dan tiba-tiba Bapak ke kamarku, memarahi aku yang menangis, dan memintaku tak usah mencoba menelpon Seno, karena tidak akan ada hasilnya. Bapak memintaku untuk merenungkan apa yang dia inginkan, dan tidak usah membicarakan hal itu dengan Seno. Bapak yakin, malam itu Seno tengah sibuk, dan tidak usah diganggu. Tapi aku tidak patuh. Aku coba telepon terus, tiada hasil. Sampai jam 2 pagi, ponselnya tetap mati. Aku tertidur kelelahan, dalam kesakitan.
Esoknya, aku mencoba biasa. Aku menduga, ada sesuatu antara Seno dan Bapak. Sore, ketika Seno menjemputku di kantor, aku ajak dia makan, dan kutanyakan gimana dia kemarin. Seno menjelaskan kalau dia kelelahan acara di luar kota itu. Aku singgung ponselnya yang tidak aktif, dan dia mengakui kalau lupa membawa ponselnya, dan tinggal di rumah dalam keadaaan mati. Aku percaya. Setelah itu kami ke rumahnya. Sampai malam aku di rumahnya, bermesraan sedikit dengannya. Tapi Seno tampak kelelahan, masih kecapekan. Mau aku kerikin, tapi Seno menolak. Bahkan ketika aku ingin olesi dengan minyak angin, dia pun menolak. Tidak biasanya. Aku pulang. Sendiri. Aku tak mau berkonlik dengan Bapak.
Dan keputusan Bapak tidak berubah. Seno mulai melihat perubahan sikap Bapak. Dia bertanya, aku cuma angkat bahu, barangkali bapak capek, elakku. Tapi, lama-lama aku tak dapat lagi bohong. Kuceritakan ke Seno, kalau Bapak tidak setuju hubungan kami. Seno kaget. Dia bertanya, apa alasannya. Aku menggeleng saja. Seno ingin berjumpa dengan Bapak, bertanya langsung. Tapi, ketika kumintakan pada Bapak, tak ada harapan. Bapak tak mau menjumpainya, dan tak ingin aku ke rumah dengannya lagi. Ultimatum! Bapak bilang Seno itu bukan lelaki baik-baik. Aku diam saja.
Akhirnya, kami berhubungan diam-diam. Dan setahun lebih berjalan tanpa terasa. Tujuh bulan lalu, Bapak terjatuh di kamar mandi. Serangan jantung. Kami bawa ke dokter, dan menginap selama tiga minggu. Dokter berpesan, Bapak tak boleh banyak pikiran. Aku sebagai anak paling kecil, menjaga terus Bapak, merawatnya. Ibu langsung kelihatan lelah begitu Bapak sakit. Aku menjadi tumpuan cerita ibu. Ibu takut kalau ada apa-apa dengan Bapak. Namun semua kembali normal. Bapak perlahan pulih lagi.
Tapi tak lama. Empat bulan lalu, serangan jantung datang lagi. Hanya dua hari Bapak bertahan, kemudian Bapak pergi untuk selamanya. Hebatnya, dalam masa kritis, Bapak sempat sadar kurang lebih 15 menit, bicara pada semua keluarga. Bapak minta maaf, karena mungkin sebagai ayah dia tidak sempurna bagi kami, sebagai suami dia tidak selalu baik untuk Ibuk. Kami menangis sejadi-jadinya. Kemudian Bapak berpesan kepada seluruh keluarga, untuk menjaga aku. Bapak minta keluarga mematuhi pesannya, bahwa Bapak tidak ingin aku menikah dengan Seno. Apa pun yang terjadi. Bapak secara khusus minta maaf kepadaku, dan berkata, meski terlihat tidak adil, tapi Bapak sangat yakin, itu adalah keputusannya yang terbaik buatku. Aku menangis. Aku kehilangan Bapak, juga kehilangan harapan untuk bersama Seno.
Kini sudah empat bulan. Aku menjadi kawalan keluarga. Semua patuh pada pesan Bapak. Kakak-kakakku berkali-kali mengingatkan, bahwa pesan orang yang meninggal tidak boleh dilanggar. Dalam adat Jawa, pesan orang meninggal itu wasiat. Kalau dilanggar, Bapak akan tersiksa di dalam kuburnya. Aku mencoba bertanya apakah memang tak ada harapan untuk melanggar pesan itu. Ternyata tidak. Dari beberapa teman yang tua-tua di kantor, aku tahu, selama pesan itu tidak melanggar ajaran agama dan kesusilaan, harus dipatuhi. Kecuali pesan itu meminta kita untuk membunuh atau membalas dendam, maka bisa tidak dipatuhi. Dan pesan untuk tidak menikah dengan Seno, termasuk harus dipatuhi, karena tidak bertentangan dengan agara dan susila. Aku stress.
Seno juga stress. Dia tidak menyangka, larangan itu bahkan menjadi pesan terakhir Bapak. Dia mendesak, apa alasan sehingga Bapak melarang hubungan kami. Tapi aku tidak tahu. Sungguh. Lalu aku cerita awal larangan itu. Aku kisahkan kalau larangan itu terjadi ketika Bapak pulang dari Salatiga, atau waktu Seno pamit tugas ke luar kota.
Tak aku kira, Seno langsung pucat ketika aku ceritakan hal itu. Dia pucat dan panik. Aku bertanya ada apa, tapi dia tak menjawab. Aku mulai mencurigai sesuatu. Aku paksa Seno bercerita. Dia tidak mau. Tapi aku tidak menyerah. Setiap bertemu, setiap berbincang, aku selalu minta dia jelaskan. Akhirnya, dia cerita juga. Menurutnya, barangkali Bapak melihatnya di komplek lokalisasi. Sore itu, kata Seno, dia dan beberapa temannya memang "pijat" ke suatu tempat di Salatiga. Seno meminta maaf. Tapi aku langsung pusing. Aku merasa sebuah palu menghantam kepalaku.
Dua minggu aku menolak telepon Seno. Beribu pertanyaan mengganggu pikiranku. Bapak melihat Seno di lokalisasi, jadi, jadi Bapak juga berada di sana. Bapakku? Aku tak percaya. Pelan-pelan, aku selidiki hal itu. Aku bertanya-tanya pada ibu, apakah Bapak mungkin pernah selingkuh selama hidupnya. Ibu malah marah. Ibu bilang pamali, pantang bertanya hal semacam itu untuk orang yang sudah meninggal. Apalagi ibu yakin Bapak bersih. Aku terpaksa cerita ke ibu, dengan sedikit berbohong kalau ada teman yang pernah lihat Bapak ke tempat begituan. Ibu malah tertawa. Ibu langsung tahu kalau "tempat begituan" itu berada di Salatiga. Kata Ibu, Bapak punya teman yang buka usaha di sana. Teman dari satu kampung, dan sangat akrab. Bapak sering ke sana karena mencoba menarik teman itu agar berhenti dari bisnis di daerah itu, menjual makanan di daerah maksiat. Dan yang lebih mengejutkan, ibu bercerita, sejak 8 tahun lalu, Bapak tidak lagi bisa menjalankan kewajibabnya sebagai lelaki karena penyakit jantungnya. Jadi tidak ada alasan Bapak selingkuh.
Aku bersyukur. Kepada Seno, aku jelaskan hal itu. Bahwa Bapakku berada di sana tidak seperti dia. Bahwa Bapakku benar dengan memintaku untuk menjauhinya. Bahwa bapakku tak ingin menyakitiku dengan menceritakan keburukan kelakukan Seno. Bahwa Bapakku menjagaku sebagai anakknya. Bahwa aku bangga sama Bapakku. Bahwa, bahwa Seno memang bajingan.....
Hatiku sakit sekali, tapi puas. Lega. Untunglah, aku belum melakukan hal-hal yang jauh dengan Seno. Kini, meski dia menyembah, dan orangtuanya menelpon berkali-kali, hatiku sudah dapat menerima keputusan Bapak. Aku percaya, di dalam kubur sana, Bapak akan bangga dengan keputusanku. Aku percaya, Bapak akan tetap dapat menjagaku.
Seperti cerita Ommi di Semarang