"Banyak pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum pemda, dana yang diberikan pemerintah pusat juga banyak yang bocor," ungkap Febry Hendri, Peneliti ICW, divisi Monitoring Pelayan Publik seusai Media Briefing, di Kantor ICW, Jakarta, Senin (29/6).
Selain itu, BLT dianggap merusak modal sosial masyarakat miskin. Kemandirian masyarakat jauh menurun, mereka mulai tergantung pada dana BLT dan malas untuk bekerja. Kepercayaan di antara masyarakat semakin menurun, seiring munculnya saling curiga di antara mereka yang mendapatkan dan tidak mendapatkan BLT. Tak hanya itu, solidaritas masyarakat juga menurun karena kompetisi mendapatkan BLT. "Empati di antara masyarakat setelah mendapatkan BLT semakin menurun dengan perbedaan pendapat yang semakin meruncing," ungkapnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, BLT juga telah terbukti memakan korban jiwa. Banyak warga meninggal karena berdesakan saat mengantre BLT. Ditemukan juga seorang warga di Muara Bungo, Jambi, yang tewas ditikam sesama warga karena merasa iri tidak mendapat BLT. "Memang yang membunuh bukan BLT, tapi mereka meninggal karena ada hubungannya dengan BLT," ujarnya.
Dengan banyaknya kasus tersebut, Febry menyarankan agar pemerintah mengalokasikan dana BLT pada pos kesehatan dan pendidikan. "Kalau dana kesehatan dilebihkan, maka penduduk akan semakin produktif dan itu berpengaruh baik bagi negara. Selain itu, kalau dana pendidikan juga ditambah, maka generasi penerus bangsa akan cerdas. Itu merupakan investasi bagi bangsa," terangnya.