Berdasarkan riset Strategy Public Relations (PR) terhadap 1.689 berita dalam kurun 1 Juni hingga 22 Juni 2009 dari delapan koran terbitan Jakarta dan tiga media online menunjukkan, SBY-Boediono mendapat serangan kampanye negatif sebanyak 163 kali dan menyerang 128 kali, sedangkan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) 89 kali menyerang dan diserang, serta Megawati-Prabowo (Mega-Pro) menyerang sebanyak 78 kali dan diserang 67 kali.
Hasil analisa Strategy PR, berita-berita yang berisi kampanye negatif terhadap JK-Win bersumber dari kubu SBY-Boediono dengan prosentase 79,8 persen dan dari kubu Mega-Pro hanya menyumbang 4,5 persen. Sementara, berita yang bermuatan kampanye negatif terhadap SBY-Boediono ternyata sumber terbesarnya dari JK-Win yaitu 52,1 persen dan dari kubu Mega-Pro sebesar 45,4 persen.
Sedangkan 85,1 persen berita yang bermuatan kampanye negatif terhadap Mega-Prabowo disumbang oleh kubu SBY-Boediono. Dan dari kubu JK-Wiranto hanya menyumbang 3% bagi kampanye negatif Mega-Prabowo.
Di mata pakar filsafat politik UI Rocky Gerung, hasil survei itu menunjukkan selama ini kesantunan yang selalu diucapkan SBY tak lebih dari sekadar topeng belaka. Apa yang diucapkan SBY ternyata tidak sejalan dengan fakta di lapangan.
"Memang kesantunan itu hanya sebuah topeng saja jadinya, untuk menyembunyikan kebenaran yang ada. Demi kemenangan strategi kompetitor dihalangi dan demi yang substansial, yang kultural menjadi pagar," kata Rocky.
Ia menilai, dengan adanya hasil risat Strategi PR itu juga menunjukkan kegagalan dari tim kampanye SBY-Boediono dalam menjalankan strategi kampanye. Sebagai incumbent, SBY itu seharusnya lebih banyak bertahan ketimbang menyerang.
Untuk itu, sambungnya, bila selama ini SBY ditampilkan sebagai objek penzaliman tapi ternyata paling banyak menyerang, telah menunjukkan ada kekeliruan pencitraan yang dilakukan SBY. "Tim suksesnya perlu dievaluasi itu dan memang kalau dilihat dari pemberitaan di media, JK yang paling menahan diri," paparnya.
Berbeda dengan Rocky, pengamat politik LIPI Lili Romli berpendapat apa yang dilakukan SBY bersama timnya selama ini bukanlah merupakan sesuatu yang melanggar etika kesantunan. Sebab, yang terjadi saat ini adalah kampanye sebatas perang kata dan simbol.
"Ini hal yang wajar dilakukan oleh para kubu capres dan cawapres dalam kampanye negatif. Dimana persoalan menyerang dan diserang merupakan bagian dari pendidikan politik yang tidak melanggar etika kesantunan," ungkapnya
Wakil Ketua Partai Demokrat Achmad Mubarok sendiri menampik bila kesantunan SBY hanyalah sebuah topeng. Sebab, yang paling banyak menyerang itu adalah tim kampanye SBY-Boediono bukan SBY secara pribadinya sendiri.
"Kalau dari SBY itu yang menyerang bukan dari Pak SBY-nya langsung tapi timnya dan itu bukan kehendak Pak SBY. Pak SBY sendiri selalu menegur timnya yang kurang proporsional. Kalau dari kubu JK-Wiranto, justru yang paling banyak menyerang itu JK-nya langsung. Sama halnya dengan kubu Mega-Prabowo yang menyerang langsung itu adalah Mega dan juga Prabowo-nya langsung," katanya Guru Besar Psikologi Islam UIN Jakarta ini.
Untuk itu, menurutnya, kalau yang dipakai ukurannya adalah serangan kandidat terhadap kandidat, maka SBY akan jadi yang paling sedikit menyerang. Mubarok mengakui, penyebab banyaknya serangan dari kubu SBY-Boediono itu berasal dari Jubir SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng.
Selama ini, lanjut Mubarok, internal Partai Demokrat selalu merasa resah dengan manuver-manuver yang dilakukan Rizal. "Rizal itu telah dianggap merusak citra SBY, mungkin karena itu SBY-Boediono jadi yang paling banyak menyerang. Kita juga sudah minta agar Rizal mengubah gaya berkampanyenya," cetusnya.
Batas kesantunan dalam berpolitik memang tidak jelas. Sesuatu yang dianggap santun belum tentu dianggap sama oleh pihak lainnya. Terlepas dari itu, seyogianya seorang pemimpin harus satu kata satu perbuatan, tanpa harus memakai topeng.