Namun, putusan MK itu membawa kendala bagi KPU. Sebab, putusan MK itu tidak menyinggung pasal yang membahas soal surat suara yang dicetak. UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 108 ayat 12 menyebutkan jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2 % (dua persen) dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU.
"KPU secara yuridis jelas tak bisa menambah surat suara karena UU-nya tidak diubah," ucap Hafiz. Jika kembali mencetak surat suara, KPU bisa dijerat dengan pasal 229 UU Nomor 42 tahun 2008 dengan pidana penjara paling sedikit 12 bulan serta paling lama 24 bulan. Selain itu, juga dikenakan denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 240 juta. "Kalau pun bisa mencetak, distribusinya tidak bisa," kata Hafiz.
Malam ini, KPU tengah menggelar rapat pleno terkait keputusan MK tersebut, terutama soal ketersediaan surat suara. Menurut Hafiz, ada beberapa poin untuk mengatasi keterbatasan surat suara. Misalnya, surat suara yang tak dipakai pemilih yang ada dalam DPT dapat digunakan pemilih yang memakai KTP atau paspor. Jika ternyata surat suara di tempat pemungutan suara (TPS) tidak ada yang tersisa, bisa berkoordinasi dengan TPS lain untuk memperoleh surat suara.
Sementara itu, Refli Harun meminta masalah surat suara jangan dilebih-lebihkan. Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia itu menyarankan KPU menyisir DPT guna menemukan pemilih ganda, di bawah umur, dan anggota TNI serta Polri. Dengan demikian, berarti akan ada kelebihan surat suara yang bisa digunakan pemilih yang menggunakan KTP atau paspor. Yang penting kata Refli, KPU, Panwaslu, bersama saksi-saksi dari para calon presiden serta calon wakil presiden memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.