Orangtua Budi, 6, sama sekali tidak menyangka jika hari pertama ke sekolah menjadi hari paling menakutkan bagi buah hatinya. Bagaimana tidak, Budi yang biasanya ceria, setiap pagi selalu bangun dengan tawa yang menghiasi wajah, sekarang malah menangis begitu memasuki halaman sekolah.
Budi seakan takut menginjakkan kaki di sekolah. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan anak-anak seusianya yang tidak dikenal. Budi semakin kencang bergelayutan di pangkuan ibunya, seakan tidak ingin ditinggalkan. Kondisi tersebut tentu saja membuat orangtua Budi sangat heran dan sama sekali tidak menyangka bahwa buah hatinya akan setakut itu berada di lingkungan baru.
Kejadian itu sebenarnya wajar dialami anak-anak. Sebab, masa awal anak-anak (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun.
Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mandiri, mengembangkan berbagai keterampilan seperti pengenalan huruf, mematuhi perintah, dan menghabiskan waktu dengan bermain, terutama dengan teman sebayanya. Periode ini disebut juga tahun-tahun prasekolah, karena merupakan masa persiapan bagi anak untuk memasuki sekolah dasar.
Taman kanak-kanak merupakan tempat yang tepat bagi anakanak untuk mempersiapkan dirinya sebelum memasuki sekolah dasar.
Taman kanak-kanak merupakan salah satu media yang bisa menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak dalam mengembangkan fungsi intelektual dan potensi lain yang dimilikinya. Selain itu, anak akan mulai belajar untuk dapat menguasai lingkungan sosial yang lebih luas daripada lingkungan keluarga.
Pertama kali anak memasuki lingkungan baru di antaranya taman kanak-kanak, umumnya mereka mengalami ketakutan dan kekhawatiran. Manifestasi dari perasaan takut ini bisa menimbulkan macam-macam gejala gangguan, antara lain berupa, kejang atau sakit pada perut, sering buang air besar, sering kencing, sakit kepala, dan timbulnya tics (gerak-gerak facial pada wajah, misalnya berkedip, bergeleng-geleng, berkenyit atau anak jadi cepat marah. Ada kalanya anak juga jadi pemurung dan penakut.
Hasil survei awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa pada minggu-minggu pertama anak memasuki taman kanak-kanak, beberapa anak menangis karena harus berpisah dengan orangtuanya, anak tidak ingin ditinggal orangtuanya, anak menjadi pendiam dan pemalu, dan juga anak datang ke sekolah dengan wajah murung. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat, di mana banyak ditemui anak-anak yang mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah.
Penolakan tersebut ditunjukkan dengan munculnya keluhan anak seperti sakit perut setiap Senin pagi, anak terlihat enggan dan harus dipaksa berangkat ke sekolah, anak dengan sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, anak sering berkata benci sekolah atau tidak ingin berangkat sekolah, dan ketika berada di sekolah selalu mengatakan ingin pulang.
"Ketakutan yang menghinggapi anak-anak ketika berada dalam lingkungan baru itu, menan- dakan bahwa sebenarnya anak belum siap dan kurangnya sosialisasi dari orangtua," kata Psikolog Anak Alumni Universitas Indonesia (UI) Dr Farah Agustin.
Farah menambahkan, sosialisasi yang dapat dilakukan orangtua seharusnya adalah dengan sering bercerita kepada anak bahwa lingkungannya yang baru adalah sebuah tempat yang menyenangkan dan membuat anak jadi lebih pandai.
"Dibutuhkan kesabaran bagi orangtua, karena tidak semua anak bisa beradaptasi dengan cepat di lingkungan barunya," terang dia.
Perilaku anak yang muncul terkait dengan penolakan untuk ke sekolah jika berlangsung dalam waktu yang panjang dan terjadi pada usia pertumbuhan, imbuh Farah, bukanlah suatu hal yang bisa dianggap ringan, tetapi mengarah pada masalah yang lebih serius. Salah satunya adalah perasaan cemas yang dialami saat akan masuk sekolah. Dan berdasarkan data penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah salah satu bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami anak-anak dan 10 persen di antaranya membutuhkan perawatan medis.
Jadi, risiko anak-anak prasekolah di Amerika Serikat untuk terkena gangguan kecemasan bisa naik di atas 10 persen.
Kecemasan ini sendiri dapat berpengaruh negatif pada diri anak dalam jangka panjang, di antaranya hilangnya kepercayaan diri, sulit untuk bersosialisasi, perasaan tidak berdaya, anak terlihat menjadi pemurung, dan tidak jarang muncul perasaan khawatir.
Kecemasan masuk sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dari ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri. Sedangkan menurut Kendall, Howard, dan Epps (dalam Goldstein, 1995), kecemasan yang dialami anak- anak dapat berpengaruh pada peran anak di rumah, di sekolah, ataupun dengan teman sebayanya.
Untuk mengatasi dan menghindari rasa cemas ini, anak-anak menggunakan berbagai macam teknik atau cara, di antaranya dengan memilih tetap tinggal di rumah daripada ke sekolah yang didasarkan pada alasan-alasan yang negatif. Kecemasan yang selalu melekat pada pikiran anakanak biasanya disebabkan adanya gangguan-gangguan yang datang dari sekolah. Anak mencoba untuk menghindari gangguan tersebut dengan menolak ke sekolah.
Meskipun demikian, penolakan untuk ke sekolah tetap merupakan perilaku yang negatif pada anak-anak. Sebab, salah satu penyebab anak-anak mengalami kecemasan masuk sekolah adalah adanya sesuatu yang mengganggu mereka, antara lain adanya permasalahan pada guru atau dengan teman, ketidakmampuan belajar, perubahan di rumah, tidak ingin ditinggalkan orangtua, perasaan malu, merasa gugup di sekolah, kelas atau situasi sekolah yang baru, tugas-tugas sekolah yang terlalu mudah dan membosankan, tugastugas sekolah yang terlalu sulit dan membuat frustrasi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1993) yang mengatakan bahwa rasa cemas akan cenderung meningkat bila tiba saatnya ke sekolah dan beberapa yang disebabkan aspek situasi di sekolah. "Cara mengatasinya adalah orangtua harus mengetahui apa yang menjadi permasalahan anak-anak mereka. Kalau perlu, lakukan pendekatan kepada guru dan teman-temannya. Selain itu, bertanyalah tentang bagaimana tingkah laku anak ketika berada di sekolah," tutur psikolog berkacamata tersebut.