Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penetapan calon legislatif dengan suara terbanyak tampaknya masih akan terus berlangsung. Sejak awal, antara MK dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang berdebat apakah pasca Putusan MK itu diperlukan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) atau tidak. MK berpendapat putusan itu bisa langsung dilaksanakan, sedangkan KPU berpendapat sebaliknya.
Putusan MK ini semakin mengundang kontroversi karena berimbas pada affirmative action atau perlakuan khusus untuk perempuan agar bisa bersaing dengan laki-laki dalam pemilu. Klausul dalam UU Pemilu menyatakan, dari setiap tiga calon legislatif (caleg) minimal harus ada seorang perempuan. Ketentuan ini dianggap lebih hidup bila pemilu menggunakan sistem nomor urut, bukan sistem suara terbanyak sebagaimana yang diputuskan MK.
Meski begitu, putusan telah diketuk. Ketua MK Mahfud MD mengingatkan semua pihak termasuk KPU untuk menaati putusan yang bersifat final dan mengikat itu. Mahfud tampaknya mulai jengah dengan kelakuan para komisioner KPU yang terus berspekulasi. Terakhir, KPU mengeluarkan gagasan masuknya satu perempuan dari tiga caleg terpilih hanya ke dalam Peraturan KPU. Tak peduli apakah perempuan itu memperoleh suara terbanyak atau tidak.
Mahfud menolak gagasan KPU itu mentah-mentah. Menurutnya, apa yang digagas KPU adalah materi muatan UU. "KPU tak boleh mengatur itu, Peraturan KPU hanya melaksanakan UU termasuk pembatasan atas UU oleh MK," tegasnya di Gedung MK, Rabu (18/2).
Mahfud juga mengkritik argumentasi-argumentasi hukum KPU selama ini yang dinilai tidak relevan. "KPU jangan berwacana soal teori hukum. Disini (MK, red) gudangnya," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) ini. Bila KPU tetap tak mau melaksanakan putusan MK, maka sanksi pidana penjara sudah menanti para komisionernya. "Ancaman hukuman 12 sampai 24 bulan penjara," ujarnya.
Ketentuan Pasal 259 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif menjadi rujukan Mahfud. "KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi," demikian isi pasal tersebut.
Selain itu, Pasal 309 juga menyebutkan 'Ketua dan anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).'
Namun, berdasarkan penelusuran hukumonline, kedua pasal itu tak berbicara tentang pelaksanaan putusan MK atas suatu pengujian UU yang menjadi kontroversi ini. Kedua pasal itu menegaskan mengenai kewajiban KPU dan KPU di daerah untuk melaksanakan putusan MK tentang perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional dan putusan pengadilan umum tentang pelanggaran pidana pemilu.
Meski begitu, MK tetap mengingatkan KPU agar tidak ceroboh dalam menyikapi Putusan MK. Menurut Mahfud, MK hanya ingin menyelamatkan agar Pemilu dapat berjalan sesuai dengan jadwal. "Kita tak mau pemilu gagal karena KPU terlalu banyak berwacana. Tapi semua terserah KPU saja" ujarnya," sindirnya.
Di tempat terpisah, mantan Anggota KPU, Chusnul Mar'iyah juga mengingatkan KPU untuk tak lama-lama berwacana. Seperti diketahui, kali ini KPU sedang asyik dengan wacana baru. Yaitu wacana tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai pengganti gagasan Peraturan KPU. "KPU sekarang kok senangnya dengan Perppu," katanya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/2). Bagi Chusnul, kondisi ini bisa berbalik menyerang KPU.
Pandangan senada datang dari Topo Santoso. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menilai wacana Perppu yang digembar-gemborkan KPU tak lain adalah sebagai penebus kesalahan. Pasalnya, KPU yang paling awal mengangkat isu tentang perlunya peraturan pasca putusan MK.
Salah seorang komisioner KPU, Abdul Aziz, tidak mau berpendapat soal pernyataan MK tersebut. Alasannya, dia belum mendapatkan salinan pernyataan dari MK. "Saya belum mau memberikan pendapat, untuk menghindari terjadinya polemik," kata Aziz.