"Kotoran sebagian besar 80 persen berasal dari daratan, terutama akibat sampah dan limbah yang cair yang mengalir melalui 13 sungai ke teluk," demikian siaran pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang diterima Primair Online kemarin malam di Jakarta.
"Pencemaran di Teluk Jakarta telah membuat kehidupan kami makin sulit. Akibat pencemaran dan reklamasi, frekuensi melaut berkurang drastis, kondisi ini membikin kelangsungan hidup nelayan Teluk Jakarta kian jauh dari sehat dan sejahtera. Bahkan, pada tahun 2005, salah seorang nelayan Teluk Jakarta meninggal dunia setelah mengkonsumsi air teluk," sebut Tiarom, nelayan tradisional asal Madura, Jakarta Utara.
Menurutnya, 13 sungai besar yang bermuara ke Teluk Jakarta mulai dari sungai Kamal hingga Cakung memiliki andil. Mereka menjadi saluran limbah gratis 20 juta warga Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Sementara itu, Kesatuan Nelayan Indonesia dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Institut Hijau Indonesia (IHI) mendesak kepada pemerintah pusat dan daerah terkait untuk membentuk tim independen yang bertugas menyelesaikan kasus pencemaran dan dampak reklamasi Pantai Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Teluk Jakarta bukanlah tong sampah raksasa. Jika sudah begini, masalah kembali terpulang kepada ketegasan pemerintah, jika hal ini tidak segera dilakukan, Teluk Jakarta akan kian tercemar hingga suatu saat nanti ada lagi masyarakat nelayan tradisional," kata Tiarom.
Teluk Jakarta terletak di antara Tanjung Karawang di sebelah timur dan Tanjung Pasir di sebelah barat. Teluk itu kini hanya memberikan sedikit ruang bagi masyarakat nelayan.
"Dari Teluk Jakarta, kami dapat menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, sejak reklamasi dan revitalisasi Pantai Jakarta tahun 1995, lambat laun banyak perubahan buruk kami rasakan. Mulai jarangnya kami melaut, bangkrutnya usaha budidaya kerang yang kami kembangkan hingga berkurangnya jenis ikan di Teluk Jakarta," papar Tiarom.