Dua kepala yang berbeda pendapat itu adalah Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany. Menurut Sri Mulyani, RUU JPSK harus mengandung kriteria-kriteria yang bisa dijadikan tolak ukur untuk menentukan kondisi seperti apa fasilitas ini bisa digunakan. Tujuan utamanya untuk menghindari terjadinya moral hazard.
Sri Mulyani melanjutkan, detail kriteria dari penggunaan JPSK penting bagi pemerintah sebagai acuan untuk mengambil keputusan dalam waktu singkat. Soalnya, dalam kondisi ekonomi terguncang atau krisis, otoritas tidak dapat membuang waktu untuk mencari asal muasal persoalan sementara persoalan terus berjalan. "Kami tidak tidak menghendaki terjadinya moral hazard karena ada pihak-pihak yang menyalahgunakan JPSK nantinya," katanya. Menkeu juga mengajak agar semua pihak terkait membahas detail kriteria ini secara bersama.
Namun, pendapat Sri Mulyani berbeda dengan Fuad Rahmany. Fuad menganjurkan agar dalam RUU JPSK tidak perlu memasukkan kriteria-kriteria secara detail. Sebab, kata Fuad, dengan adanya detail kriteria tersebut, justru akan memunculkan moral hazard dari sisi lembaga keuangan atau lembaga keuangan bukan bank. "Nanti malah lembaga-lembaga keuangan atau lembaga keuangan bukan bank bisa memanfaatkan kriteria-kriteria tersebut untuk membuat suatu kondisi agar dia bisa di-bailout. Itu harus dihindari," ucapnya.
Fuad menjelaskan, persoalan ini sempat terjadi di Amerika Serikat (AS) ketika memutuskan akan melaksanakan program bailout. Saat itu, banyak perusahaan di AS yang diduga sengaja menciptakan suatu kondisi agar perusahaan mendapat fasilitas bailout sebagai jalan keluar dari kebangkrutan. Padahal, fasilitas bailout di Indonesia bertujuan untuk menyelamatkan sejumlah perusahaan yang bisa berdampak sistemik pada sebagian atau seluruh sistem perekonomian, bukan untuk menyelamatkan semua perusahaan yang hampir bangkrut.
Sekadar mengingatkan, JPSK dipersiapkan sebagai mekanisme cadangan yang belum tentu terpakai. Ide dasar diajukannya JPSK oleh pemerintah untuk melindungi kalau terjadi dampak krisis yang sistemik. Soalnya, di dalam Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan, tidak ada satu pasal pun yang bisa memandatkan BI atau LPS untuk menangani kasus persoalan perbankan ini.
Dalam perjalanannya, RUU JPSK memang tidak semulus RUU lainnya yang diajukan pemerintah ke DPR, yang kesemuanya disahkan menjadi Undang-Undang. Pada 19 Desember 2008, DPR menolak RUU yang sebelumnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 4 Tahun 2008 tersebut. Alasannya, dalam RUU tersebut masih terdapat berbagai kelemahan antara lain, skema dana talangan (bailout) yang terlalu luas mencakup bank dan lembaga keuangan non bank. Kemudian, mekanisme pertanggungjawaban publik yang longgar karena tidak melibatkan DPR.
Hingga kini, DPR sepertinya pesimis RUU JPSK bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Soalnya, masih terdapat polemik dalam RUU JPSK antara lain, kesiapan pemerintah dalam membentuk Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Anggota Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng masih mempertanyakan usulan pemerintah menempatkan Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK dalam RUU JPSK. Seharusnya, kata dia, Presiden-lah yang menjadi koordinator KSSK.